RECENT POST

DAHULUKAN BENDERA LA ILAHA ILL-ALLAH BUKAN PANJI MORAALISME

Dalam bab kedua buku Petunjuk Jalan yang berjudul Wujud Metode Al-Qur’an, Sayyid Quthb menganalisa mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bukan bendera lainnya. Padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.

Tidakkah ada pilihan strategi lain yang lebih memperkecil resiko dan mengandung maslahat lebih besar? Misalnya, mengapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak diarahkan Allah untuk mengibarkan panji Moralisme yang lebih solutif menghadapi problema perilaku bangsa Arab yang saat itu sarat diwarnai kerusakan dan kebejatan? Bila bendera Moralisme yang dikibarkan sejak hari pertama sangat mungkin menghasilkan penerimaan kaum pejuang susila dari kalangan bangsa Arab yang sudah muak menyaksikan tersebarnya kerusakan moral. Perhatikanlahlah tulisan Sayyid Quthb berikut ini:

Pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat.

Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :

"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya akan diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya."

Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman jahiliyah: "Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya."

Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.

Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang kuno maupun yang modern.

Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya adalah dalam kekuasaan Muhammad s.a.w. untuk mengumumkan suatu da'wah reforrnasi yang menyangkut dengan perbaikan budi pekerti, pembersihan masyararakat dan pensucian diri.

Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya Muhammad shollollahu alaihi wa sallam pada waktu itu dapat menjumpai jiwa-jiwa yang baik yang merasa sakit melihat kekotoran ini, sebagaimana dijumpai oleh setiap reformis susila di setiap lingkungan. Jiwa-jiwa ini dipengaruhi oleh keluhuran dan keinginan untuk memperkenankan seruan reformasi dan pembersihan.

Barangkali ada orang yang berkata : Seandainya hal itu diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. semenjak dari pertama kali tentulah ia akan diperkenankan oleh sejumlah orang yang baik, yang bersih budi pekertinya, yang suci jiwa mereka, sehingga mereka itu lebih dekat untuk menerima dan memikul aqidah, dan tidak perlu lagi mengobarkan seruan La ilaha illa-llah yang menimbulkan opposisi yang kuat semenjak permulaan jalan.

Jelas sekali bahwa saat Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan Allah untuk berda’wah di Mekkah beliau menghadapi problema kebangkrutan moral di tengah masyarakat. Adalah sangat wajar bila orang mengusulkan agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengawali da’wahnya dengan mengibarkan bendera Moralisme. Artinya bisa saja Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyerukan suatu gerakan reformasi moral, apalagi beliau sendiri terkenal berakhlak mulia.

Jika ini dijadikan entry point beliau dalam mengawali da’wah Islam tentulah akan begitu banyak pendukung berbaris di belakang beliau. Bukankah ini jauh lebih kondusif daripada mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah yang hanya menimbulkan kegoncangan dan perlawanan dari kebanyakan bangsa Arab? Lalu mengapa bukan jalan ini yang ditempuh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam? Mengapa beliau malah menempuh jalan yang susah-payah menghasilkan begitu banyak rintangan bahkan repons balik yang keras? Simaklah penjelasan Sayyid Quthb selanjutnya:

Tetapi Allah Yang Mahasuci mengetahui bahwa bukan itu jalannya. la mengetahui bahwa akhlak hanya dapat berdiri di atas dasar suatu aqidah yang meletakkan ukuran dan menetapkan nilai : sebagaimana juga menetapkan kekuasaan yang akan menjadi sandaran ukuran dan nilai ini dan pembalasan yang dimiliki kekuasaan ini, dan memberikannya baik ke­pada yang mematuhi maupun kepada yang melanggar. Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.

Islam merupakan ajaran yang memposisikan aqidah sebagai fondasi sedangkan akhlak sebagai bangunan yang berdiri di atas fondasi tersebut. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan untuk mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah terlebih dahulu bukan panji Akhlak atau Moralisme. Sebab bendera La ilaha ill-Allah yang mencerminkan penancapan fondasi aqidah haruslah didahulukan sebelum berharap masyarakat dapat merubah atau memperbaiki akhlaknya. Sehingga jelas dan tegas Sayyid Quthb menyatakan: ” Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.”

Bilamana aqidah telah tertancap dengan benar dan lengkap dalam suatu masyarakat maka mereka akan memiliki motivasi yang tidak terkait dengan kepentingan duniawi apapun ketika menegakkan segenap tuntutan aqidah tersebut. Mereka akan menjadikan sesuatu di luar dunia sebagai pendorong utama mereka dalam mewujudkan kelengkapan bangunan Islam di atas fondasi aqidah kokoh tadi. Motivasi tersebut berupa cita-cita menikmati janji Allah di akhirat, yakni: Surga. Hal inilah yang menyebabkan mereka sejak awal rela bersusah-payah mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah walaupun berakibat derita dan permusuhan dari keluarga dan masyarakat mereka sendiri. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb selanjutnya:

Untuk mendirikan agama ini mereka telah mendapat satu janji, di mana kemenangan dan kekuasaan tidak ikut serta dan bahkan juga tidak bagi agama yang berada di tangan mereka ini, suatu janji yang tidak berhubungan dengan sesuatupun dalam kehidupan dunia ini, sebuah janji, yaitu: sorga. Inilah hanya yang dijanjikan kepada mereka atas perjuangan yang penuh derita dan penderitaan yang pahit, dan terus berda'wah dan menghadapi kejahiliyahan dengan sesuatu hal yang dibenci oleh mereka yang berkuasa di tiap zaman dan di tiap tempat : yaitu: La ilaha illa-llah.

Para sahabat tatkala diajak kepada seruan aqidah tidak dijanjikan oleh Nabi suatu kepentingan duniawi apapun. Mereka tidak dijanjikan apapun selain surga di akhirat. Mereka tidak dijanjikan bakal mendapat perbaikan nasib berupa gaji besar atau kedudukan prestisius berupa jabatan formal di tengah masyarakat. Maka pantaslah bilamana istri Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu 'anha melontarkan kalimat sebagai berikut:

لو أن أول ما نزل من القرآن لا تشربوا الخمر لقالوا لا والله لا نترك الخمر أبدا و لو كان أول ما نزل من القرآن لا تزنوا لقالو لا و الله لا نترك الزنا أبدا و لكن كان أول ما نزل من القرآن سور المفصل فيها ذكر الجنة و النار حتى ثابت القلوب إلى ربها ثم نزل الحلال و الحرام

“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”

Saudaraku, inilah barangkali pokok pangkal masalah di negeri kita dan banyak negeri muslim lainnya. Banyak orang tahu bahwa ada kebangkrutan moral yang berkembang dimana-mana dewasa ini. Namun kita tidak secara konsisten membenahi masalah dari akarnya, yakni pembinaan aqidah. Kita mengira bahwa kerusakan moral dapat diselesaikan hanya dengan mengibarkan bendera gerakan reformasi moral dengan penuh semangat. Kita menyangka bahwa urusan perbaikan moral tidak ada kaitannya dengan urusan aqidah serta ideologi. Kita tidak sadar bahwa manusia tidak mungkin disuruh mentaati suatu perintah atau menjauhi suatu larangan bila di dalam dirinya belum ada fondasi aqidah serta keyakinan kokoh terhadap fihak yang menjadi sumber perintah dan larangan tersebut.

Di sinilah kita lihat mengapa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam secara konsisten di bawah bimbingan wahyu Allah terus mendahulukan pengibaran bendera La ilaha ill-Allah sebelum pengibaran panji Moralisme. Padahal beliau sangat faham bahwa kebangkrutan moral sedang merajalela di tengah masyarakat. Padahal beliau adalah seorang manusia yang dikenal luas memiliki akhlak mulia yang dapat menjadi teladan dalam bidang pembenahan moral dan akhlak. Padahal beliau sangat faham bahwa langkah pengibaran bendera La ilaha ill-Allah merupakan pilihan yang tidak populer di tengah masyarakatnya. Padahal beliau sangat faham bahwa pengibaran panji Moralisme sangat mugkin mendulang simpati masyarakat luas.

Saudaraku, prioritas utama da’wah Islam bukanlah memperbanyak pendukung atau konstituen. Walaupun tentunya selaku aktivis da’wah kita pastilah akan sangat gembira bila melihat da’wah Islam memperoleh dukungan banyak orang. Tetapi itu bukanlah prioritas utama.

Prioritas utama da’wah Islam ialah memastikan gerakannya berada di atas jalan yang diridhai Allah, jalan yang telah ditempuh oleh teladan utama kita bersama, yaitu jalan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Memang idealnya ialah gerakan da’wah Islam berada di atas jalan yang diridhai Allah sambil memperoleh dukungan banyak orang. Tetapi belajar dari teladan utama kita Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tidaklah demikian keadaannya. Setidaknya tidaklah demikian keadaannya saat da’wah berada dalam tahap awal perjuangannya menghadapi kejahiliyahan masyarakat yang masih begitu dominan. Wallahu a’lam bish-showwaab. -

Ya Allah, curahkanlah kepada kami rahmat dan ridhaMu selalu. Bimbinglah kami selalu agar berada di atas jalanMu yang benar, jalan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Ya Allah, janganlah dunia menjadi pertimbangan utama kami saat berjuang di atas jalan da’wahMu. Ya Allah, kami mohon kepadaMu surgaMu dan segenap ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya. Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari nerakaMu dan segenap ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.

Read more

KUNCI KEBAHAGIAAN


Biarpun liku-liku hidup yang dilalui terasa begitu payah, namun jika diri benar-benar mengenal Allah dan beribadat kepada-Nya, nescaya kita akan mendapat kebaikan, kebahagiaan dan ketenangan.

Namun jika kita ingkar kepada-Nya, jiwa pasti tidak tenteram walau tinggal di istana yang mewah nan megah. Ketahuilah bahawa di akhir kehidupan adalah pahit dan menderita kerana kita belum memiliki kunci kebahagiaan nan sejati.
Allah SWT berfirman yang bermaksud, “…dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta (berbagai-bagai jenis kekayaan) yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."” (Surah al-Qashash [028], ayat 76)
Jika diteliti pengertian ayat ini, Allah SWT membela mereka agar tidak terjerumus ke dalam kejahatan di dunia dan di akhirat. Ini adalah janji dan berita gembira daripada Allah bagi orang-orang yang beriman bahawa Allah akan menghindarkan mereka (kerana keimanan mereka) dari semua keburukan orang kafir, godaan syaitan, keburukan diri sendiri, amal perbuatan yang jelek dan membantu meringankan beban mereka. Setiap Mukimin berhak atas pembelaan dan keutamaan seperti ini, sesuai dengan kadar keimanannya. Setiap orang diuji dengan perkara yang berbeza-beza dan percayalah ujian itu tanda kasih sayang Allah kepada kita.
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (untuk menerima apa yang telah berlaku itu dengan tenang dan sabar). Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Surah at-Taghaabun [064], ayat 11)
Berdasarkan ayat di atas, hendaklah kita memahami bahawa setiap musibah yang menimpa adalah ketentuan Allah. Apabila kita redha dengan dugaan ini, kita akan menerimanya dengan pasrah dan usahlah berputus asa berdoa agar ktia diberi kekuatan dan jalan untuk menghadapi ujian getir itu.
Empat kunci kebahagiaan Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Empat perkara yang membawa kebahagiaan iaitu wanita yang solehah, rumah yang luas, jiran yang baik dan kenderaan yang selesa!” (Hadis riwayat Ibnu Hibban) Kehidupan yang selesa adalah suatu bentuk kehidupan yang dialu-alukan oleh Islam di mana kehidupan yang sempurna memerlukan empat elemen asas yang penting iaitu:
  1. Wanita yang solehah - iaitu isteri yang baik yang dapat menguruskan keluarga dan rumahtangga dengan sempurna.
  2. Rumah yang luas yang boleh memberikan keselesaan untuk bermesra dengan keluarga dan anak-anak di samping dapat melapangkan fikiran dengan baik dan tenang.
  3. Jiran yang baik kerana jiran merupakan orang yang paling rapat selepas sanak saudara dan keluarga. Jiran yang baik dapat menjamin keharmonian hidup bermasyarakat sehinggakan ikatan kejiranan itu boleh bertukar seakan-akan sebuah kelurga yang kasih-mengasihi dan saling mengambil berat di antara satu sama lain.
  4. Kenderaan yang selesa kerana ia memberikan kemudahan dalam segala urusan.
Antara tabiat buruk yang mengancam kebahagiaan hidup ialah berfoya-foya dengan kehidupan mewah, boros harta dan membazir ketika berbelanja. Tabiat ini sering disebut dalam al-Quran sebagai punca kehancuran beberapa umat yang terdahulu. Oleh itu hendaklah kita sentiasa berdoa agar ditetapkan hati supaya tidak mudah condong ke arah kemungkaran dan kesesatan.
“….Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Surah ali-‘Imran [003], ayat 8)

__._,_.___

Dalam sepotong ayat dan hadis ada menerangkan:

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman dengan ayat-ayat Allah dan merekalah pembohong-pembohong." (An-Nahl ayat 105)

"Barangsiapa mengatakan dariku apa yang aku tidak katakan, maka hendaklah Ia bersedia mengambil tempatnya dari Neraka."(HR: Az-Zahabi dlm Al-Kabair.)

-Berpesan-pesan sesama insan-
Read more

AGAMA BUKAN CANDU UNTUK MENGKHAYALKAN ORANG MISKIN


“Dan berikanlah kepada kaum keluargamu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membazir dengan pembaziran yang melampau. Sesungguhnya orang-orang yang membazir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula sangat kufur kepada Tuhannya”. (Surah al-Isra: 26-27).

Tertarik apabila membaca kisah al-Imam al-Nawawi (631-676H) yang diminta oleh Raja pada zamannya al-Malik al-Zahir untuk memberikan fatwa bagi mengharuskan Raja mengambil harta rakyat untuk digunakan memerangi musuh yang mengancam negara iaitu tentera Tatar. Tujuan itu pada zahirnya baik kerana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Harta itu pun hendak digunakan untuk keperluan jihad.

Namun ramai ulama yang telah dibunuh ketika itu kerana enggan mengeluarkan fatwa berkenaan. Al-Nawawi juga enggan menulis surat sokongan terhadap tindakan Raja Zahir itu sekalipun beliau tahu pengambilan harta itu untuk kepentingan negara juga.

Apabila Raja bertanya kepada beliau mengapa beliau enggan menyokong? Beliau menjawab: Setahu saya engkau dahulunya seorang hamba, tidak mempunyai harta. Kemudian Allah memberikan kurniaan kepadamu lalu diangkat engkau menjadi seorang raja. Aku dengar engkau memiliki seribu hamba lelaki yang setiap mereka memiliki talipinggang daripada emas.

Engkau juga ada memiliki dua ratus hamba perempuan, dan setiap mereka memiliki sebekas perhiasan. Jika engkau belanjakan itu semua, sehingga hamba-hamba lelakimu hanya memakai tali pinggang kain, dan hamba-hamha perempuanmu hanya memakai baju tanpa perhiasan, juga baitul mal sudah tiada simpanan wang, harta dan tanah lagi, maka aku akan fatwakan untukmu keharusan mengambil harta rakyat itu. Sesungguhnya yang menolong jihad dan selainnya ialah penyerahan diri kepada Allah dan mengikut jalan nabiNya s.a.w.
(lihat: ‘Abd al-Ghani al-Daqar, al-Imam al-Nawawi, 144-145, Damsyik: Dar al-Qalam).

suka dengan jawapan al-Imam al-Nawawi ini. Bahawa kita tahu, selepas ini banyak forum-forum perdana, ceramah-ceramah di radio dan televesyen akan memperkatakan tentang kewajipan berjimat cermat. Maka ustaz, ustazah dan penceramah pun –atas pemintaan penaja yang membayar harga ceramah- akan bersungguh-sungguh menyuruh orang-orang bawahan untuk berjimat cermat.

Dalil-dalil pun akan dibaca. Mungkin akan ada ustazah yang mencari cerita-cerita ajaib yang baru untuk dikaitkan dengan bab jimat cermat dan jangan membazir. Mungkin akan ada penceramah yang cuba menangis-nangis –seperti seorang pelakon berjaya yang menerima anugerah- bercerita kepada mak cik-makcik yang kusyuk menonton tentang azab seorang yang membazir ‘nasi lemaknya’.

Datanglah orang-orang kampung mendengar forum perdana dengan basikal atau motosikal sebagai menyahut seruan agar tidak membazir petrol. Adapun penceramah, datuk-datuk pengajur, YB-YB hanya menggunakan kenderaan mewah yang berkapasiti atas daripada 2000cc. Tujuannya untuk mengelakkan pembaziran wang kerajaan yang terpaksa dibayar kepada empunya kenderaan 2000cc ke bawah, lebih tinggi daripada 2000 ke atas.

Maka insaflah mak cik dan pak cik yang barangkali teringatkan tulang ikan yang pernah dibuangnya padahal masih ada sedikit sisa isinya yang melekat. Itulah membazir namanya. Maka, atas keinsafan dan taubat itu, mungkin ada yang akan mula mengurangkan makan nasi lemak daripada sebungkus seorang kepada sebungkus yang dikongsi bersama. Air kopinya yang memang sudah ‘ceroi’ akan ditukar kepada yang warna hitamnya antara kelihatan dan tidak. Maka selamat negara kita ini, disebabkan pakcik dan makcik, pak long dan mak long, pak lang dan mak lang di kampung sudah mengubah gaya hidup mereka.

Elok bertanya soalan macam ni, tapi soalan yang belum ‘dijakimkan’, “apakah agama ini dihantar oleh Allah untuk menghukum manusia bawahan dan menghalalkan yang lain tidur dalam kekenyangan dan kemewahan?”. Sebelum harga minyak naik, telah sekian mereka yang berada di teratak usang itu menjimat makan dan pakai. Saban hari mereka mengira belanja untuk memboleh mereka terus hidup di kala negara dunia belum menghadapi krisis harga minyak.

Kita tidak mahu membicarakan tentang kenaikan harga minyak dari sudut perjalanan ekonomi antarabangsa. Telah banyak pakar-pakarnya bicarakan. Tapi saya ingin bincangkan tentang soal pembaziran dan jimat-cermat. Ya, memang Islam memusuhi pembaziran. Bahkan al-Quran tidak pernah mempersaudarakan antara mana-mana pembuat dosa dengan syaitan, melainkan mereka yang membazirkan.

Allah menyebut dalam al-Quran: (maksudnya): “Dan berikanlah kepada kaum keluargamu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membazir dengan pembaziran yang melampau. Sesungguhnya orang-orang yang membazir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula sangat kufur kepada Tuhannya”. (Surah al-Isra: 26-27).

Demikianlah Allah persaudarakan pembazir dengan syaitan. Kesan pembaziran sangat besar. Lihat negara kita yang kaya dengan berbagai hasil. Sepatutnya kita akan tetap kukuh dan setiap rakyat akan menikmati kekayaan ini dengan adilnya. Namun, disebabkan pembaziran, harta negara yang sepatutnya dapat dimakan puluhan tahun, tetapi surut mendadak dalam masa beberapa tahun.

Maka, yang patut mendapat bantuan dan hak, tidak cukup untuk sampai kepadanya. Barang keperluan pula bertukar menjadi mahal. Pembaziran memusnahkan kehidupan rakyat bawahan dan menghalang hak yang sepatutnya sampai kepada mereka. Maka betapa wajar untuk para pembazir itu dipersaudarakan dengan syaitan. Apatah lagi dalam banyak keadaan, pembaziran itu lahir dari keangkuhan dan kesombongan. Sifat-sifat itulah jua yang menjadi asas kepada kekufuran syaitan.

Soalannya, mengapakah apabila kita membicarakan tentang pembaziran, kita hanya terbayang orang-orang bawahan di kampung ataupun bandar. Jika kita ingin meminta supaya setiap warga negara ini berjimat dan jangan membazir, maka bermulalah daripada atas. Bukan sekadar untuk ‘mengenakan si miskin yang sekian lama telah berjimat dan sudah tidak tahu apa yang hendak dijimatkan lagi. Mengapa kita hanya terbayang rakyat yang berada dalam rumah persendirian dan berbelanja dengan wang poketnya yang sudah lelah?

Kita sepatutnya terlebih meneliti semula bagaimana perbelanjaan yang menggunakan harta negara dan rakyat yang sedang berjalan di istana-istana, kediaman-kediaman rasmi kerajaan di peringkat negara dan negeri?. Apakah wajar di kala ini keraian untuk orang-orang besar sama ada sultan atau menteri begitu mewah? Makanan yang dihidangkan untuk mereka, harga satu meja kadang-kala boleh dimakan oleh ratusan rakyat bawahan. Karpet yang dipijak oleh mereka harganya ribuan bungkusan nasi yang dimakan oleh ‘orang biasa’.

Apakah patut di saat yang sebegini, ada istana atau kediaman rasmi menteri yang hendak ditambah mewahkan? Apakah patut orang-orang besar ini diraikan dengan hiburan atau pertunjukan dan konsert yang menelan puluhan ribu ringgit sempena sesuatu kunjungan mereka. Wang itu, wang negara. Wang itu, wang rakyat.

Apakah dalam masa yang sebegini mereka masih mendapat peruntukan untuk bersantai, bermain golf dan ‘berhiburan’ dengan menggunakan wang rakyat bawahan yang disuruh menjimatkan nasi lemak dan air kopi mereka?. Pembaziran sebegini lebih rapat menjadi saudara syaitan dibanding wang persendirian yang dibelanjakan.

Meminjam falsafah al-Imam al-Nawawi yang saya sebutkan tadi, jika orang atasan telah benar-benar berjimat, maka wajarlah untuk dikurangkan subsidi rakyat. Al-Nawawi telah dibuang negeri kerana enggan bersekongkol dengan perkara yang seperti ini. Namun, jika itu tidak dilakukan, ulama bukan burung kakak tua.

Dalam menulis perkara ini risiko amat besar.Tapi tanggungjawab di hadapan Allah lebih besar daripada segala-galanya. Para ulama dahulu jauh lebih mulia, tidak dibandingkan kedaifan skita ini. Pun mereka telah menunaikan tanggungjawab al-Amr bil Ma’ruf dan al-An-Nahy ‘an al-Munkar ini. Semoga Allah menimbang tinta para ulama dengan darah para syuhada.

Telah berlaku tahun kesusahan dan kelaparan yang amat sangat di Semenanjung Arab pada zaman Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khattab.. Dikenali dengan ‘Am al-Ramadah kerana seakan bagaikan warna ramad atau abu disebabkan kekurangan hujan, warna tanah dan warna kulit manusia yang bertukar disebabkan kekeringan. Ini berlaku pada antara tahun 17H dan 18H selama sembilan bulan.

Amirul Mukminin telah berhempas pulas menguruskan harta negara ketika itu bagi mengatasi kesusahan rakyat. Di samping kecemerlangan pengurusan, yang ingin disebutkan di sini kecemerlangan pendirian dan sikap. Ibn Jarir al-Tabari meriwayatkan bahawa ‘Umar bin al-Khattab tidak memakan pada tahun berkenaan lemak haiwan, susu dan daging sehingga orang ramai dapat memakannya. Barangan makanan berkurangan di pasar.

Pada suatu hari pekerjanya dapat membeli untuknya lemak dan susu namun dengan harga yang agak tinggi. ‘Umar enggan makan bahkan berkata: “Engkau telah menyebabkan lemak dan susu menjadi mahal, sedekahkan keduanya, aku bencikan pembaziran. Bagaimana aku dapat memahami keadaan rakyat jika tidak mengenaiku apa yang mengenai mereka?”. (Al-Tabari, 2/358, Beirut : Dar al-Fikr).

Juga diriwayatkan bahawa suatu hari pada tahun berkenaan disembelih unta lalu dimasak dan dibahagikan kepada orang ramai. Lalu diceduk masakan itu untuk dihidangkan juga buat ‘Umar. Tiba-tiba yang diceduk itu bahagian belakang unta dan hatinya. Lalu ‘Umar bertanya: “Dari mana diperolehi ini?”. Daripada unta yang kita sembelih hari ini. Kata ‘Umar: “Oh! Alangkah buruknya aku ini sebagai pemimpin, jika aku memakan bahagiannya yang baik lalu aku berikan rakyat makan yang sisa” (Ibn Sa’d, al-Tabaqat al-Kubra, 3/312, Beirut : Dar Sadir).

Maka alangkah buruknya seorang presiden, atau sultan, atau raja, atau perdana menteri, atau menteri besar, atau menteri yang makan dengan mewah daripada peruntukan harta negara atau negeri sedangkan rakyatnya dalam kesusahan. Ketika rakyat membilang butiran beras, helaian ringgit untuk persekolahan anak, keperitan membayar sewa rumah, api dan air, sementara mereka yang berkuasa ini pula menghadiri jamuan negara dan negeri itu dan ini.
Bermewahan dengan pertunjukan dan hiburan dari peruntukan wang negara. Kemudian bercuti rehat, tanpa rakyat ketahui apakah kepenatannya untuk rakyat. Kos cuti itu pula ditanggung oleh negara tanpa sebarang pulangan keuntungan buat rakyat. Alangkah zalim! Alangkah keji sikap yang sedemikian rupa.

Kadang-kala begitu hairan apabila seseorang dianggap ‘berjiwa rakyat’, hanya kerana makan nasi yang dijamu oleh rakyat, atau masuk ke kampung mendukung anak rakyat untuk beberapa minit bagi membolehkan wartawan mengambil foto. Apakah itu dinamakan berjiwa rakyat?

Jika hendak diiktiraf sebagai berjiwa rakyat, rasailah apa yang rakyat rasai. Orang seperti ‘Umar bin al-Khattab lebih mulia daripada segala keturunan atau pangkat yang ada di kalangan manusia. Kemuliaannya telah diiktiraf oleh Allah dan RasulNya. Dia ahli syurga dengan jaminan Allah dan RasulNya sementara politiknya tidak ada saingan yang menggugatnya. Namun tetap amanah dan jujurnya terhadap rakyatnya. Merasai penderitaan rakyat.

Beliau idola kepimpinan kita sepatutnya. Walaupun beliau tidak pernah menyuruh orang menyembah atau menjulangnya, namun beliau dipuja oleh sejarah dan diangkat oleh Allah.
Kenaikan harga minyak menaikkan harga barang. Orang berpendapatan rendah menjadi mangsa. Agama berperanan untuk menyedarkan semua pihak tentang tanggungjawab terhadap rakyat. Dalam keadaan begini, antara perkara pertama yang patut dibentang kepada rakyat adalah pengurusan kemasukan dan pengagihan zakat.

Zakat yang mungkin sampai kepada peringkat bilion ringgit di seluruh negara mesti diagihkan secara telus dan bijaksana.

Mengapa masih ada fakir miskin yang bagaikan meminta sedekah kepada pihak yang menguruskan zakat? Mengapa program tv lebih menjumpai si miskin dibanding pihak yang menguruskan zakat? Mengapa zakat masih berbaki dengan begitu banyak setiap tahun sedangkan kemiskinan masih banyak? Mengapa pihak yang menguruskan zakat kelihatan bertambah mewah, sementara yang patut menerima hak kelihatannya bertambah letih dengan keadaan sekarang?

Di masa inilah peranan zakat bagi memastikan setiap yang memerlukan memperolehinya tanpa kerenah birokrasi yang bukan-bukan. Jangan sampai untuk mendapat RM150 si miskin berulang alik berkali-kali dengan tambang sendiri, sementara yang mendakwa amil zakat mengisi minyak kereta dengan wang zakat atas nama amil! Ramai kata kita berjaya menguruskan zakat sebab kutipan yang tinggi.Ingin katakan, pengurusan yang berjaya itu bukan sahaja kutipan semata, tetapi juga pengagihan secara telus, bijaksana dan bertanggungjawab.

Dalam usaha kerajaan menangani kemelut ekonomi hari ini, perkara-perkara yang disebutkan ini mestilah dipandang serius. Kejayaan sesebuah kerajaan menghayati penderitaan rakyat akan menjadikan mereka lebih disayangi dan disokong. Jika orang atas mengubah cara hidup, kita akan berkempen untuk semua agar mengubah cara hidup. Jika orang agama disuruh berkempen orang bawahan agar mengubah cara hidup, sementara melupai yang di atas, mereka sebenarnya cuba menjadikan agama sebagai candu agar seseorang melupai masalah yang sebenar.

Read more

BIAR KITA MISKIN HARTA DAN KUASA, TAPI JANGAN KITA MISKIN JIWA

Ramai orang tidak dapat membezakan antara keseronokan dengan kebahagiaan atau ketenangan jiwa. Atau mungkin mereka tidak pernah menikmati kebahagiaan, sekalipun seringkali mengecapi keseronokan.

Begitu ramai penghibur yang bertaraf lima bintang yang berjaya menjadikan ribuan peminatnya bersorakan gembira apabila melihat pertunjukannya, tetapi dia sendiri tidak bahagia.

Maka tidak hairanlah jika ramai artis ternama terlibat dengan dadah dan hidup dalam tekanan. Sesungguhnya keseronokan bukan semestinya kebahagiaan atau ketenangan jiwa.
Sesiapa yang kita lihat Allah tidak merezekikan kepadanya keseronokan atau kegembiraan tertentu, bukanlah bererti Allah tidak memberikan kepadanya ketenangan jiwa. Maha luas kurniaan Allah, betapa ramai orang yang kurang harta dan rupa, tetapi lebih bahagia daripada yang hartawan dan rupawan.

Bukan semestinya seorang raja, presiden, perdana menteri dan menteri itu lebih bahagiaan perasaan dan jiwanya dari seorang guru yang tidak dipagari pengawal, tidak dikenali ramai melainkan murid-muridnya yang masih mentah dan terpencil.

Entah berapa ramai mereka yang berjawatan besar itu yang jauh lebih serabut perasaan dan jiwa mengenangkan masa depan kedudukan, pengikut dan nasibnya. Lebih daripada keserabutan ribuan manusia yang lain.

Mungkin meja makan orang besar itu hebat, layanannya istimewanya, makanannya mahal, tempat tidurnya enak, kenderaannya mewah, sorak-sorai untuknya meriah, tetapi kebahagiaan dan ketenangan jiwa belum tentu muncul di celahan itu semua. Bahkan, berapa ramai manusia dalam dunia ini yang Allah azabkan mereka menerusi harta dan anak pinak mereka.

Firman Allah mengenai golongan munafik: (maksudnya) “Oleh itu, janganlah engkau tertarik hati kepada harta benda dan anak-anak mereka, (kerana) sesungguhnya Allah hanya mahu menyeksa mereka dengan harta benda dan anak-anak itu dalam kehidupan dunia” (Surah al-Taubah: ayat 55). Islam bukan memusuhi harta, tanpa harta bukan punca sebenar ketenangan jiwa.

Ramai insan apabila tidak memahami kebesaran Allah menyangka bahawa harta dan kuasa adalah segala-galanya. Lalu dia menganggap sesiapa yang tidak kaya raya dan berkuasa tidak mendapat kurnia kebahagiaan daripada Tuhan. Seakan kurniaan Tuhan itu hanya tertumpu kepada empunya kuasa dan harta.

Anggapan ini teramat silap. Ya! Harta dan kuasa boleh menjadi faktor yang membawa ketenangan dan kebahagiaan jiwa jika ia dikendalikan dengan betul. Namun, jika tidak ia boleh bertukar menjadi punca derita dan sengsara.

Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak dapat tidur lena dalam istana mewahnya, ketika si miskin sedang berdengkur menikmati nikmat tidur dalam rumah usangnya. Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak berselera makan di hadapan hidangan mewahnya ketika si miskin dengan begitu enak menikmati sebungkus nasi yang dibalut dengan daun pisang..

Maha Agung Allah S.W.T, Dia memberi kurnia nikmatNya dengan berbagai cara dan tanpa diduga.

Teringatkan satu ceramah Buya Hamka r.h dalam satu rakaman. Beliau menceritakan bagaimana suatu hari ketika beliau menaiki kenderaan mewah dengan seorang kaya melalui sawah padi, tiba-tiba melihat seorang petani yang berehat dari kepenatan bekerja, sambil isterinya menghidangkan makan tengahari.

Walaupun hidangan itu amat biasa sahaja, tetapi dimakan oleh petani tadi dengan penuh selera. Lalu orang kaya yang bersama Buya Hamka berkata: “Buya, saya ada rumah besar dan kenderaan mewah, tetapi tidak pernah berpeluang makan begitu berselera seperti petani itu”.

Ya! Demikianlah Allah membahagi-bahagikan nikmatNya. Sesiapa yang diberikan makanan yang hebat, belum tentu dapat menikmati keenakan itu di lidahnya. Sesiapa yang diberikan tempat tinggal yang mewah, belum tentu dikurniakan kenikmatan tinggal di dalamnya.

Maka, tidak hairan jika ada orang kaya, atau yang berkuasa kurang selera makan. Atau tidak hairanlah jika ada anak si kaya yang lari meninggalkan rumah mewah bapanya.
Janganlah pula hairan, jika ada orang miskin yang setiap hari menikmati suapan yang masuk ke dalam mulutnya, dan nyenyak tidurnya. Janganlah pula hairan jika ada perasaan yang lebih mengenang pondok usang dari banglo yang tersergam.

Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, namun insan hendaklah tahu bersyukur atas segala kurniaan Allah kepadanya. Yang miskin dan yang kaya hendaklah insaf bahawa tujuan daripada makanan dan tempat tinggal yang mewah itu adalah kesedapan dan keselesaan. Bukan semua yang memiliki kemewahan itu pula akan menikmatinya.

Juga bukan semua tidak memilikinya, akan terhalang mengecapi kenikmatannya. Maha Besar Allah yang membahagi-bahagikan kurniaanNya mengikut kehendakNya.

Kadang-kala apabila kita duduk di meja makan bersama orang kaya besar dan orang biasa. Kita lihat si kaya minum air kosong sahaja, ditanya kenapa? Jawabnya, “saya ada diabetis”. Dia enggan makan kebanyakan lauk yang dihidangkan, katanya saya ada “sakit jantung dan darah tinggi”.

Sementara ‘yang biasa’ biasa di sebelahnya, makan dengan enak tanpa sebarang pantang. Ya, memiliki sesuatu, belum tentu dapat menikmatinya. Untuk minum air kosong dan nasi kosong tidak memerlukan harta yang banyak. Juga air kosong dan nasi kosong biasanya merupakan makanan si miskin yang tidak mampu memiliki.

Jika Allah mahu, orang yang berada di tengah kemewahan akan hidup bagaikan si miskin di tengah kefakiran.

Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, tetapi insan wajib insaf bahawa hanya Allah yang menentukan segala kurniaan. Maka jangan kita sombong atas apa yang kita kelihatan memilikinya, dan janganlah pula kita berdukacita atas apa yang tidak Allah kurniakan kepada kita. Entah berapa banyak nikmat yang telah Allah kurniakan kepada kita, kita tidak menyedarinya. Entah betapa banyak nikmat yang Allah halang orang lain merasainya, kita sangka mereka mengecapinya.

Saya bawakan mukadimah yang panjang ini supaya kita semua insaf bahawa pergantungan sebenar dalam kehidupan ini hanya Allah. Maka, jangan kita menjadi hina jiwa ini di hadapan orang lain hanya kerana melihat kuasa dan harta yang berada di tangannya lalu kita sangka mereka memiliki segala-gala. Jikapun kita kurang harta dan kuasa, janganlah kita miskin jiwa.
Apa yang ingin kita buru daripada kehidupan ini adalah ketenangan jiwa dan kebahagiaan perasaan. Bukan sekadar keseronokan atau kegembiraan yang berakhir dengan tamatnya sesuatu pesta atau sorakan semata.

Jika kebahagiaan dan ketenangan yang kita pilih, maka yang dapat memberinya hanyalah Allah. Memiliki harta dan kuasa belum tentu dapat mencapainya. Maka jangan kita mengemis kepada penguasa atau si kaya dalam mencari ketenangan hidup.

Merintihlah pada Allah, hanya Dia yang dapat menganugerahkan kita semua itu. Firman Allah: (maksudnya “Sesiapa yang beramal soleh, samada lelaki ataupun perempuan, dalam keadaan dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan sesungguhnya Kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih daripada apa yang mereka telah kerjakan” (Surah al-Nahl: ayat 97).

Ramai orang yang kita lihat kaya harta, tetapi miskin jiwanya.. Kadang-kala mereka mengampu orang lain, sehingga ke peringkat yang memualkan, hanya semata kerana dunia yang diharapkan.

Apalah ertinya harta, jika kita miskin jiwa sehingga seakan menjilat orang lain. Harta dan kuasa itu amat diperlukan jika ia menjadikan kita seperti para khalifah yang soleh dan para hartawan yang bersyukur. Anda lihatlah orang-orang politik apabila mengampu ‘tuan mereka’. Semuanya kerana mengharapkan tempiasan kuasa.

Bahkan kita pernah berjumpa orang yang menyandang gelaran agama di sebuah negeri memuja ‘penghuni istana negerinya’ seakan memuja seorang nabi yang maksum. Setiap cakapannya disandarkan kepada istana negerinya. Barangkali dia mengharap tambahan ‘gelaran’ di depan namanya. Atau dia tertelan kata-kata Hang Tuah yang diriwayatkan menyebut: “Hidupku ini hanya untuk menjadi hamba Sultan Melaka semata”.

Tapi taklah sampai begitu. Hormat menghormati sesama manusia ada batasannya. Sebab itu, di sebuah majlis kadang2 benda ini pernah berlaku pihak tertentu yang menyebut: “dengan izin Allah S.W.T dan limpah perkenan tuanku jua…”.

“kita percaya pihak yang dipuji itupun tidak menyuruh saudara menyebut demikian. Pujian saudara ini menyanggahi hadis Nabi s.a.w, daripada Ibn ‘Abbas: “Bahawa seorang lelaki berkata kepada Nabi s.a.w: “Apa yang Allah dan engkau kehendaki”. Maka baginda bersabda kepadanya: “Apakah engkau menjadikanku sekutu Allah, bahkan (katakan) : apa yang hanya Allah kehendaki” (Riwayat Ahmad, dinilai sahih oleh al-Albani).”

Pujian yang seperti inilah yang akhirnya akan meruntuhkan seseorang atau sesebuah institusi. Nabi s.a.w lebih mulia daripada kita semua. Pun Allah memerintahkan baginda

mengisytiharkan: (maksudnya): Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Jika aku mengetahui perkara-perkara yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan dengan banyaknya benda-benda yang mendatangkan faedah dan (tentulah) aku tidak ditimpa kesusahan. Aku ini tidak lain hanyalah (Pesuruh Allah) yang memberi amaran (bagi orang-orang yang ingkar) dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”(Surah al-Anfal: 188).

Islam apabila datang kepada manusia, ia memerdekakan jiwa manusia ini dari menjadi hamba sesama manusia, kepada hanya bertuhankan Allah. Iinilah yang disebut oleh Rib’i bin ‘Amir di hadapan Panglima AngkatanTentera Parsi: “Allah yang membangkitkan kami agar kami mengeluarkan sesiapa yang dikehendakiNya dari pengabdian sesama hamba menuju pengabdian kepada Allah, dari kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam, dari dunia yang sempit kepada keluasan dunia dan akhirat”. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 7/48, Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah).

Lihatlah Bilal bin Rabah r.a., walaupun pada masa dirinya masih menjadi hamba sahaya kepada tuannya, tetapi Islam telah berjaya memerdekakan jiwanya. Dia tidak tunduk kepada kehendak tuannya yang sesat. Sekalipun tubuhnya diseksa di terik mentari, namun jiwa merdeka hanya tunduk pada ilahi. Malanglah seorang insan, jika tubuhnya merdeka, cukup makan dan minum, tiba-tiba jiwanya itu bersifat hamba kepada manusia sehingga melanggari batasan Allah S.W.T.

Justeru, jika manusia menganggap tangan yang mempunyai kuasa dan harta itulah punca kebahagiaan dan ketenangan maka mereka akan menjadi hamba sesama manusia. Namun, jika mereka yakin, hanya Allah sahaja yang mampu memberi kedamaian, maka jiwa mereka akan merdeka. Sesiapa yang menjadi hamba manusia, dia tidak akan menjadi hamba Allah yang sebenar. Sesiapa yang menjadi hamba Allah yang sebenar, dia tidak akan berjiwa hamba sesama manusia.

Sabda Nabi s.a.w: “Sesiapa yang akhirat itu tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaannya dalam jiwanya. Allah mudahkan segala urusannya dan dunia akan datang kepadanya dengan hina (iaitu dalam keadaan dirinya mulia). Sesiapa yang menjadikan dunia itu tujuan utamanya, maka Allah akan letakkan kefakirannya antara kedua matanya. Allah cerai beraikan urusannya, dan dunia pula tidak datang kepadanya melainkan dengan apa yang ditakdirkan untuknya (iaitu dalam keadaan dirinya hina)”. (Riwayat al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani).

Daripada hadis ini, maka sesiapa yang benar-benar bergantung kepada Allah, jiwanya akan merdeka dan mulia. Juga dunia itu juga akan sampai kepadanya dengan harga dan maruah dirinya tidak tercemar. Sesiapa yang bergantung kepada manusia, mungkin dunia itu akan sampai ke tangannya, tapi dia akan berada dalam kehinaan dan keluh kesah.

Kebimbangan yang tidak putus akan sentiasa menjelma antara kedua matanya, kerana pergantungannya lemah. Orang mukmin yang sebenar bergantung kepada Allah, Raja segala raja, Pemilik alam semesta. Sementara yang berjiwa hamba kepada manusia, akan bertawakkal kepada raja atau pemimpin yang menunggu hari untuk mati atau ditumbangkan oleh orang lain seperti Raja Nepal .

Islam mengajar kita berjiwa merdeka, sekalipun kita miskin harta, gelaran dan pangkat. Jiwa yang merdeka daripada perhambaan sesama manusia kepada tunduk hanya untuk Allah itulah yang membawa kepada kebahagiaan dan ketenangan yang sebenar. Kita memerlukan para pemimpin, sahabat handai, orang bawahan yang berjiwa merdeka. Kita tidak mahu menjadi berharta dan berkuasa, tetapi menjadi hamba sesama manusia. Pengemis yang miskin harta, lebih mulia daripada si kaya atau penguasa yang miskin jiwa.

Read more

USRAH DAN KEPENTINGAN DALAM JAMAAH

MUQADIMAH

Proses tarbiyyah Islamiyyah adalah satu proses pendidikan dan pembentukan yang bukan semata-mata satu proses pembelajaran ilmu. Usrah adalah medan di mana ahlinya menjalani satu proses pembentukan yang dibina di atas semangat ukhuwwah al-islamiyyah. Ia membawa maksud penekanan dan perbincangan di dalam usrah mencakupi satu bidang yang luas dan menyeluruh.

Penekanan terhadap unsure-unsur yang akan melahirkan peningkatan dalam kefahaman dan penghayatan terhadap Islam sebagai system yang syamil wa mutakamil (lengkap lagi melengkapi) yang akan melahirkan semangat juang dan ketahanan secara berjemaah. Dengan demikian haruslah diingatkan bahawa usrah hendaklah merupakan satu kelompok pendidikan yang akan melahirkan ‘amilin (petugas) dan bukannya sekadar mufakkirin (golongan yang berfikir) walaupun kepentingannya tidak boleh kita nafikan.

Usrah sebagai unit terpenting dalam gerakan Islam memerlukan satu bentuk penyusunan yang rapi kerana kita meyakini bahawa kebenaran yang tidak disusun rapi akan diatasi oleh kebatilan yang kemas. Justeru, organisasi usrah di setiap peringkat hendaklah diawasi sepanjang masa agar keberkesanannya akan dapat menguntungkan Islam dan jamaah.PENTADBIRAN USRAH
Setiap naqib/ah perlu memastikan agar perjalanan usrahnya diatur rapid an kemas dan jangan sampai kepada peringkat yang boleh membosankan ahli-ahli usrah. Usrah janganlah hanya dijumudkan dengan perbincangan teks sahaja tetapi ianya juga boleh diluaskan dengan bentuk perbincangan, rehlah, ziarah, riadhah, majlis qiamullail dan sebagainya.

Usrah mempunyai cirri yang membezakannya dari nizam al-tarbiyyah yang lain diantara cirri-citi tersebut ialah:
1. Usrah hendaklah bersifat mutawasil (berterusan). Usrah yang berkesan mestilah berterusan dan pemutusan usrah akan mengakibatkan kurangnya penghayatan dan perkembangan tarbiyyah dikalangan anggotanya.
2. Merangkumi keseluruhan ahli samada pimpinan, pengikut, mahupun pekerja.
3. Mempunyai perancangan (al-tahhtit) yang rapi dalam semua sudut.
4. Kesungguhan semua pihak yang terlibat samada nuqoba’ manupun ahli.
5. Antara keberkesanan sesuatu usrah itu akan dapat dilihat sejauh mana persoalan ini dapat dilihat dan dijawab dengan sempurna:
Sejauh mana peningkatan ahli dalam penghayatan Islam.
Sejauhmana pula konsep al-ta’wun (bekerjasama) di kalangan para ahli dalam membantu proses penghayatan Islam.
Sejauh mana ikatan ukhuwwah dan amal jamaie dapat dibentuk dan sejauhmana pula perlaksanaannya dalam bentuk amalan.

TUJUAN DAN MATLAMAT USRAH
1. Memberi kefahaman yang benar dan jelas terhadap tasawwur Islam kepada anggota.
2. Meningkatkan penghayatan ‘amal Islami dan menghidupkan rasa tanggungjawab untuk menjaga dan mempertahankan kemuliaan ajaran Islam secara fardiyy atau jamaie
3. Menjalin dan mengukuhkan ikatan ukhuwwah dan persaudaraan dan memupuk semangat bertindak dan bekerja secara jamaah.
4. membina ‘aqliyyah jamaiyyah di kalangan anggota agar mereka sentiasa memberi keutamaan kepada gerak kerja secara jamaie dan bertindak mengikut keputusan jamaah.
5. menggiat dan menyelaraskan usaha untuk mempelajari selok-belok perjuangan dari pengalaman gerakan Islam seluruh dunia.
6. mendidik, memupuk bakat serta mengeluarkan aktivis-aktivis yang benar-benar mampu dan teguh pendirian serta sihat tubuh badan, sempurna dalam pemahaman ilmu serta akhlaq.
7. memastikan bahwa yang bakal menempati saff pimpinan ialah orang-orang yang layak, jujur dan ikhlas. Memastikan bahawa yang memegang pimpinan adalah orang yang layak ditempat yang munasabah.
8. Memastikan bahawa barisan perjuangan tidak dimasuki oleh pemikiran yang sumbang atau musuh.
9. Berusaha meningkatkan bentuk penyusunan organisasi yang piawai atau mampu mnghadapi tahap-tahap perjuangan tanpa diserapi oleh anasir pemecah yang menggugat harakah.

CIRI-CIRI NAQIB
Secara ringkas disertakan sekali cirri-ciri naqib yang memimpin usrah:
1. Mempunyai kefahaman yang baik dalam agama.
Naqib perlu mempunyai asas kefahaman Islam yang mendalam terhadap Tasawwur Islam dan memahami Waqi’ (jamaah/ harakah) serta memahami marhalah dakwah. Setidak-tidaknya naqib biarlah dari kalangan mereka yang mempunyai pengalaman haraki, serta ilmu terhadap asas Islam (tasawwur Islam)
2. Iman yang mendalam
Naqib perlu menjadi contoh ikutan kepada ahli-ahli usrah. Lantaran itu ia mestilah mempunyai keimanan yang kukuh, keyakinan, tawakkal serta memelihara ibadat-ibadat fardiyy dan menjaga sunnah-sunnah Nabi saw.
3. Bersifat amanah
Naqib perlu menyedari bahawa ia memikul amanah yang tinggi iaitu membimbing ahli-ahli supaya menjadi golongan yang terpilih di samping merasakan bahawa dialah orang yang bertanggungjawab memelihara agama.
4. Keikhlasan yang tinggi.
Keikhlasan adalah perkara paling penting dalam mana-mana perkara yang hendak dilakukan. Namun perkara yang terlebih penting adalah ikhlas kepada naqib-naqib dengan tidak mengharapkan apa-apa ganjaran serta sanggup berkorban. Ia perlu mengorbankan lebih masa, perasaan, masa kerja, keluarga, harta-kekayaan, dan berbagai kepentingan lain untuk cita-cita Islam.
5. Beramal dengan ilmu.
Naqib perlu beramal dengan ilmu dan dikenali sebagai orang yang beramal dengan ilmunya. Ini akan memberikan kesan yang baik ke atas anggota-anggota jamaah yang lain yang menjadi contoh yang baik.
6. Syakhsiah yang terpuji.
Naqib dikenali sebagai seorang yang memiliki akhlak dan syakhsiyah yang baik, menepati janji, jujur dan berbagai lagi akhlak yang mesti dimiliki. Ini kerana naqib adalah sebagai pembimbing, pendidik, guru dan seorang sahabat yang sentiasa menjadi tumpuan dan perhatian umum.
7. Pergaulan yang baik
Hubungan naqib dengan ahli usrahnya adalah hubungan yang berterusan, dan bukan terhad hanya di dalam usrah semata-mata. Naqib mestilah pandai bergaul dengan anggot usrah yang lain serta mewujudkan kemesraan dan kekeluargaan di kalangan anggota usrah.

MANHAJ USRAH
1. Mestilah ditegaskan bahawa islam dan ajarannya bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan hadith Nabi saw sebagaiimana yang difahami dan diambil dari ulama’ yang muktabar.
2. Memberi penekanan terhadap tasawwur Islam dan penekanan bahawa Islam adalah satu system hidup (Nizamul hayat) atau ad-din yang sempurna.
3. Bahan-bahan usarh, hendaklah mengambil kira marhalah yang sepatutnya dilalui oleh ahli-ahli usrah.
4. Manhaj Usrah perlu mengandungi Tasawwur Aqidah yang kemas dan menyeluruh yang menjadi teras kepada perjuangan Islam.
5. Kandungan Usrah perlulah yan dapat memandu dan menyumbang kea rah pembentukan peribadi atau syakhsiah muslim dan pendakwah.
6. Kandungan usrah mestilah mengandungi perngatan untuk memelihara Islam sama ada secara fardiyy atau jamaie’.
7. Memberi penekanan terhadap ibadah-ibadah khusus dan amalan-amalan yang membina kerohanian seperti membanyakkan zikir, wirid mathurat, doa-doa, membaca al-Qur’an, menziarahi kubur dan sebagainya.
8. Kandungan Usrah mestilah mempunyai unsur-unsur pembentukan fikrah dakwah Harakah, dan siasah secara seimbang.
9. Menekankan panduan-panduan latihan kerja secara jamaie, seperti tanggungjawab memelihara amanah, berkorban, mematuhi arahan-arahan dan memberi wala’ dan ketaatan kepada pimpinan jamaah.
10. Menyediakan ruang-ruang buat ahli-ahli berinteraksi sesama sendiri bagi menguatkan ukhwah dan sanggup bermuhasabah, memperbaiki kelemahan, dan kekurangan yang ada dikalangan anggota dengan cara-cara yang baik.

FAKTOR-FAKTOR KEJAYAAN / KEGAGALAN USRAH
FAKTOR YANG BERPUNCA DARI NAQIB:
a. Tidak memahami atau kurang memahami tujuan dan matlamat usrah dalam rangka Tarbiyyah.
b. Tidak memahami kandungan dan skima tarbiyyah sesuia dengan marhalah mad’u dan sasarn.
c. Kaedah penyampaian Usrah yang tidak sesuai.
d. Naqib tidak memberikan tumpuan dengan ahli-ahli usrah.
e. Tidak mengenal mad’u.
f. Para Naqib tidak ada Fikrah Dakwah dan Harakah.
g. Tidak membuat persediaan dan Kajian terhadap bahan-bahan Usrah.
h. Tidak segera menyelesaikan masalah.
i. Tidak memahami politik dan isu-isu semasa.
j. Naqib tidak mematuhi arahan jamaah.
CIRI-CIRI USRAH YANG BERJAYA
1. Majlis yang terancang dan berterusan
2. Mempunyai ketua yang bertanggungjawab.
3. Mempunyai bilangan ahli yang kecil.
4. Keahlian usrah merangkumi semua peringkat.
5. Usrah sebagai saluran melahir dan membentuk pimpinan
Read more

TASAWWUR ISLAM

1. PENGERTIAN ISLAM.

Islam adalah sebagai Ad-Din yang merangkumi seluruh aspek kehidupan manusia yang terkandung di dalamnya aqidah, amalan-amalan dan hokum-hukum berhubungan dengan rohani dan jasmani, fardiyyah dan jamaiyyah, agama dan politik dan segala urusan hidup di dunia dan akhirat. Secara khususnya Islam sebgaimana yang dikemukakan oleh ulama-ulama’ berdasarkan kepada Al-Qur’an dan AsSunnah adalah:-

Islam bererti tunduk dan menyerah diri kepada Allah swt serta mentaatiNya yang lahir dari kesedaran dengan tidak dipaksa kerana ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan dosa.

Firman Allah swt:-

“Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah padahal kepadaNya menyerah diri segala apa yang ada dilangit dan bumi, baik dengan suka mahupun terpaksa dan kepada Allah mereka dikembalikan”. (Surah Ali Imran ayat 83)

Sesungguhnya tanda bukti penuh ketundukan kepada Allah swt ialah reda menerima agamaNya yang diiringi pula dengan penuh kesedaran. Ini adalah lantaran Islam menurut pengertian ini adalah merupakan agama yang diredai Allah, agama yang diwahyukan kepada Rasul-Rasul a.s. untuk disampaikan kepada manusia.

*

Islam adalah peraturan (an Nizam), perundangan yang lengkap bagi mengatur kehidupan manusia dan menjadi dasar akhlak yang mulia yang dibawa oleh Rasulullah saw dripada Allah swt, guna disampaikan kepada manusia serta menyatakan apa yang mengenai orang yang mengikut dan menentang sama ada dosa dan pahala.

Firman allah swt:

“Dan barangsiapa yang mencari selain daripada Islam maka dia tidak akan diterima daripadanya dan diakhirat nanti dia termasuk dikalangan orang-orang yang rugi” (Surah Ali Imran ayat 85)

*

Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah swt kepada RasulNya saw, yang terkandung di dalamnya peraturan-peraturan yang berbentuk aqidah, akhlak, muamalat dan segala berita yang disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah perintah untuk disampaikan kepada manusia.

Firman Allah swt:

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintah itu) beerti kamu tidak menyampaikan risalah Allah dan Allah memelihara kamu dari gangguan manusia”

*

Islam ialah keseluruhan Ad-Din yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw yang terkandung di dalamnya perkara-perkara yang berhubung dengan aqidah, amalan dan hokum yang disertai dengan kepatuhan secara zahir dan batin dengan penuh keikhlasan.

Firman Allah swt: “Bahkan sesiapa yang menyerah dirinya kepada Allah sedangkan dia berlaku baik, maka baginya ganjaran di sisi Tuhannya dan tidak ada takut bagi mereka dan mereka juga tidak berdukacita” (Surah al-Baqarah ayat 112)

*

Islam dengan makna menyerah diri secara zahir sahaja sekalipun dengan tidak ada iman di dalam hati. Islam yang seperti ini tidak memberi apa-apa faedah kepada penganutnya.

Firman Allah swt: “orang Arab Badwi berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah kepada mereka: “Kamu belum beriman”, tetapi katakanlah: “Kami telah Islam, kerana iman itu belum masuk ke dalam hati-hati kamu”. (Surah Al Hujurat: ayat 14)

*

Islam merupakan jawapan yang tepat kepada tiga pertanyaan yang dikemukakan kepada setiap manusia, iaitu:

i) -dari mana ia datang?

ii) -mengapakah ia dijadikan?

iii)-kemanakah ia dikembalikan?

Jawapan soalan satu adalah terkandung didalam Firman Allah surah Al Hajj ayat 5, Surah Al Mukminun ayat 12-14, dan surah AtTariq ayat 5

Jawapan soalan dua “mengapakah ia datang” terkandung didalam surah AzZariyat ayat 56.

Jawapan untuk soalan tiga “kemanakah ia dikembalikan” ada di dalam Al Qur’an Surah Al Insyiqaq ayat 6, Surah ar Ruum ayat11, Surah AzZumar ayat 7, Surah An Najm ayat 42, dan Surah al Alaq ayat 8.

*

Islam merupakan penghayatan yang sebenar bagi manusia; merupakan cahaya petunjuk dalam kehidupan; merupakan ubat yang mujarab untuk mengatasi; memperbaiki masyarakat dan jalan yang sebenar yang tidak mungkin sesat kepada sesiapa yang melaluinya.

2. TASAWWUR ISLAM YANG SEBENAR.

Islam sebagai Ad-Din yang lengkap dan sempurna yang akan membicarakan segala perkara dalam kehidupan manusia dan tidak ada sedikit kekurangan dan kecacatan dalam ajarannya. Oleh itu Islam merangkumi aspek aqidah, ibadah, syariah, akhlak, kebudayaan, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dakwah, pergaulan, jihad, dan bermacam lagi. Disini diselitkan beberapa takrif berkenaan dengan tasawwur Islam tersebut

*

Aqidah

Ialah kepercayaan kepada Allah yang tersimpul kukuh di dalam jiwa manusia tanpa ada sedikit keraguan terhadap kesemprnaan ajaran Islam. Inilah dasar dan pokok ajaran Islam dan seruan yang dibawa oleh Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt:

Bermaksud:“sesungguhnya kami telah mengutuskan pada setiap umat seorang rasul supaya mereka menyembah Allah dan menjauhi taghut” (Surah An Nahl ayat 36)

*

Ibadah

Satu ketundukan dan pengabdian kepada Allah yang esa dalam seluruh aspek kehidupan, dalam erti kata yang lain seluruh pekerjaan dan amalan yang dilakukan semata-mata kerana Allah dan mengikut syariat Islam, maka ia dinamakan ibadah. Firman Allah swt:

“Tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengbdikan diri kepadaKu” (Surah Az Zariyat ayat 56)

*

Syariah

Iaitu perundangan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada manusia dan tidak boleh diubah dengan apa cara sekalipun. Syariat Islam memelihara lima prinsip; iaitu agama, nyawa, maruah, akal dan harta.

*

Akhlak

Imam Al Ghazali menyatakan bahawa akhlak ialah “bawaan sifat jiwa yang tersembunyi atau melahirkan perbuatan dengan mudah tanpa perlu berfikir terlebih dahulu” Berdasarkan definisi inilah Imam Al Ghazali menyatakan bahwa akhlak itu ialah sifat-sifat yang telah menjadi tabiat seseorang. Ia bukan sesuatu yang bersifat takalluf (sesuatu yang dibuat-buat) tetapi telah menjadi perangai dan miliknya yang sebenar bukan ia berpura-pura berperangai baik di hadapan orang pada masa-masa tertentu. Akhlak ialah satu ajaran daripada Islam, untuk memperbaiki tingkahlaku manusia dan ia mempunyai tempat yang tinggi dan pengaruh yang besar dalam gerakan dakwah kerana akhlak yang baik merupakan besi magnet kepada Islam.

*

Kebudayaan

Islam mengikitraf kebudayaan asalkan ia berlandaskan kepada Islam. Di antara kebudayaan yang berlandaskan Islam adalah cara berpakaian, Islam tidak menetapkan cara khusus berpakaian kerana masing-masing kaum mempunyai cara berpakaian tersendiri namun kewajipannya adalah menutup aurat bagi lelaki dan perempuan yang tidak menampakkan susuk tubuh serta fitnah yang lebih buruk. Kaum lelaki dilarang memakai pakaian serupa perempuan begitu jugalah sebaliknya.

*

Ilmu pengetahuan

Islam datang dengan menghapuskan kejahilan manusia dan digalakkan supaya menuntut ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mendapat tempat yang tinggi di sisi Islam dan para penuntutnya dianggap mulia. Ayat al-Qur’an yang pertama menyuruh manusia supaya membaca (menuntut ilmu pengetahuan) dan banyak lagi dalil-dalil yang meminta umat Islam supaya belajar dan menuntut ilmu.

*

Ekonomi

Ekonomi adalah penting untuk kehidupan manusia, lantaran itulah Islam mengiktiraf dan menerima ekonomi sebagai satu usaha meningkatkan taraf hidup manusia. Ilmu yang berkaitan dengan ekonomi di dalam Islam telah banyak diperluaskan oleh ulama’ yang pada dasarnya Allah menyebut tentang halalnya jual beli dan diharamkan riba’, begitu juga diwajibkan mengeluarkan zakat, beerti ia menyentuh perihal ekonomi.

*

Politik

Manusia adalah makhluk yang perlukan hubungan social (social kontrak), justeru itu ia memerlukan bimbingan daripada pemimpin-pemimpin. Rasulullah saw telah meninggalkan kita dengan meninggalkan soal kepimpinan (khilafah) sebagai sesuatu yang penting di dalam membangunkan umat. Politik adalah sebahagian daripada Islam dan sesiapa yang menganggap politik bukan sebahagian daripada Islam beerti ia telah memisahkan agama dari landasan yang sebenarnya. Inilah fahaman ideology yang ditanam oleh musuh-musuh Islam supaya dengannya umat Islam akan terpisah secara berjuzsuk-juzuk dari amalan Islam yang sebenar.

*

Dakwah

Dakwah ialah menyeru, mengajak manusia kepada pengabdian kepada Allah, ia adalah tugas mulia yang amat penting dan inilah tugas para Nabi dan rasul di utuskan ke muka bumi oleh Allah swt. Perbincangan mengenai dakwah akan dibincangkan dalam topik yang akan datang.

*

Pergaulan

Manusia adalah makhluk yang memerlukan sosial untuknya berinteraksi dengan manusia lainnya. Oleh kerana itulah Allah menjadikan mansuia ini berpasang-pasang supaya manusia berasa damai dan tenteram dalam kehidupan. Dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah banyak mengajar umatnya bagaimana tatacara hidup bermsyarakat yang sebenarnya seperti menghormati orang tua, memuliakan jiran, menziarahi orang lain, memuliakan tetamu, dan sebagainya.

*

Jihad

Perkataan jihad berasal dari kata “jahada” yang bermaksud kesungguhan. Menurut syarak ialah pengerahan tenaga dari seorang Muslim dalam mempertahanakan dan menyebarkan Islam kerana menuntut keredhaan Allah. Kerana itu jihad adalah satu kalimah yang besar maknanya dan tuntutannya juga amat besar dipikul oleh umat Islam. Jihad dalam konteks yang luas boleh difahami dan diaplikasikan dalam pelbagai cara seperti lisan, berjihad menentang hawa nafsu, berjihad dengan peperangan, dan pelbagai lagi.

3. SYARIAT ISLAM : PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI KEISTIMEWAAN

Takrif Al-Syariah Al-Islamiyyah

Syari’ah dalam bahasa Arab beerti aliran (almazhab) dan jalan yang lurus. Syariah Islamiyyah menurut istilah ialah hokum-hukum yang disyara’kan oleh Allah s.w.t. untuk hambaNya, samada yang berkaitan dengan aqidah, ibadat, akhlak, muamalat, dan system-sistem hidup dalam pelbagai aspek demi untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Ia juga diertikan sebagai saluran air yang mengalir yang menjadi sumber minuman. Hokum-hukum ini dinamakan Syariah kerana lurus dan tidak menyimpang sistemnya dari matlamatnya, seperti landasan yang lurus tidak ada bengkang-bengkok. Berdasarkan penjelasan di atas maka syariat Islam Islam dari segi istilah syara’ adalah “semua hukum yang diciptakan oleh Allah untuk hambanya sama ada hokum-hukum ini diperundangkan melalui al-Qur’an atau Sunnah Nabi saw dalam bentuk perkataan, perbuatan atau perakuan baginda”.

Ciri-ciri keistimewaan Syariah Islamiyyah

Rabbaniyyah

Ianya membawa erti bahawa hukum dan peraturan Syariah ini dari Allah swt dan bukan ciptaan manusia. Beerti sumber Syariah Islamiyyah ialah Allah swt yakni wahyuNya kepada Nabi Muhammad saw dengan lafaz dan makna, iaitu al-Qur’an, atau dengan makna tidak lafaz iaitu as-Sunnah. Ciri ini membezakannya sama sekali dari semua perundangan duniawi kerana ia bersumberkan dari manusia sedangkan Syariah Islamiyah sumbernya pencipta manusia itu sendiri.

Natijah Syariah Islamiyyah:

i)-Prinsip-prinsip Syariah dan hokum-hakamnya bersih dari sebarang rupa bentuk kezaliman, kelemahan dan menurut hawa nafsu kerana penciptanya ialah Allah yang mempunyai ksempurnaan mutlaq. Undang-undang duniawi pula mempunyai kelemahan kerana ia lahir dari manusia yang memiliki kelemahan seperti kejahilan, penyelewengan, kezaliman, kelemahan, kekurangan, terpengaruh dengan hawa nafsu, alam persekitaran, kaum atau bangsa, dan sebagainya.

ii)-Hukum-hukum Syara’ mempunyai kehebatan dan kehormatan dalam jiwa orang-orang yang beriman dengannya ama ada pemerintah mahupun yang diperintah, justeru kerana ianya dari Allah dan pasti memiliki sifat Ad-Din. Atas dasar inilah ia tetap dihormati dan dipatuhi dengan rela hati yang didorongi oleh jiwa yang bersih dan keimanan yang mendalam tanpa ada unsur paksaan.

Balasan Duniawi dan Ukhrawi

Balasan duniawi ini ada yang bersifat kanun jenayah dan ada yang dikatakan kanun sivil sepertimana juga dengan undang-undang buatan manusia tetapi skopnya lebih luas dari balasan yang terdapat dalam undang-undang buatan manusia, justeru undang-undang Islam itu mencakupi seluruh urusan individu termasuklah soal-soal keagamaan dan akhlak, tidak sepertimana undang-undang buatan manusia. Balasan ukhrawi adalah dikenakan ke atas setiap perlanggaran hokum syara’ sama ada ia amalan had mahupun amalan anggota lahir, yang berkaitan dengan muamalat maliyyah (sivil) mahupun jenayah dan sama ada yang bersalah itu dikenakan hukuman keseksaan atau tidak, selagi tidak bertaubat nasuha dan mendapat penghalalan hak dari orang tertentu.

Alamiyyah dan Umumiyyah

Syariat Islam menjadi keistimewaan dengan ciri ini, ia menjadi rahmat untuk sekalian alam, menjadi petunjuk kepada seluruh umat manusia dan merupakan peraturan untuk manusia sejagat pada semua masa dan tempat. Ia bukan perundangan untuk satu jenis manusia, Negara, bangsa dan kabilah tertentu sahaja, bahkan ia untuk manusia di mana jua mereka berada. Islam meraikan kehendak dan keperluan manusia dalam beberapa perkara seperti:

a) Dharuriyyat : iaitu kehidupan manusia tidak akan wujud dengan ketiadaannya. Perkara-perkara dharuriyyat ini perlu untuk menjaga akal, agama, jiwa, keturunan dan harta.

b) Hajiyyat : perkara yang diperlukan manusia untuk hidup. Namun manusia hidup tanpa kewujudannya.

c) Tahsiniyyat : iaitu perkara yang diperlukan manusia untuk hidup lebih mulia. Contohnya Islam mewajibkan menutup aurat tetapi cara penutupan mengikut tempat dan suasana. Ia lebih mirip kepada unsure kesempurnaan kemewahan.

Kekal.

Syariat islam kekal sepanjang zaman tanpa dinasakh dan tiada perubahan. Ia merupakan Syariat Islam terakhir dan penutup syariat-syariat samawi. Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir, tiada Nabi lagi selepas baginda. Kesejagatan Syariat Islam, umum untuk seluruh manusia dan tidak menerima sebarang pembatalan dan tukar ganti, sudah pasti segala peraturan dan hokum-hakamnya itu dapat mencapai kepentingan manusia sepanjang zaman dan disemua tempat dan mampu memenuhi segala keperluan yang dihajati oleh manusia setiap masa, dijadikannya sebagai penutup semua syariat, peraturan, prinsip dan hokum-hukumnya sesuai dilaksanakan untuk semua masa dan tempat.

Syumul

Syariat Islam itu suatu system yang syumul mencakupi semua urusan hidup yang menggariskan manusia jalan iman, menerangkan dasar-dasar aqidah, menyusun hubungan manusia dengan Tuhannya, memerintah bersihkan jiwa, dan mengatur hubungan manusia sesama manusia. Kesyumulan Islam ini dapat dilihat pada 3 kelompok:-

i)-Hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah seperti beriman kepada Allah dan hari akhirat. Perbahasan hokum-hukum aqidah ini dan kajiannya terdapat dalam ilmu kalam atau Tawhud.

ii)-Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak seperti wajib bercakap benar, amanah, menyempurnakan janji, haram berdusta, khianat, mungkir janji. Hokum-hukum akhlak ini kajiannya adalah dalam ilmu akhlak atau Tasawwuf.

iii)-Hukum-hukum yang berkaitan dengan perkataan dan perbuatan manusia dalam hubungan mereka dengan yang lain. Hokum amali ini dinamakan dengan al-fiqh, perbincangannya dalam ilmu al-Fiqh.

Ia terbahagi kepada 2 bahagian yang besar iaitu:

a)-Ibadat seperti solat, puasa, zakat yang mana ia bertujuan mengatur hubungan di antara individu dengan Tuhannya.

b)-Adat dan muamalat yang bertujuan untuk mengatur hubungan di antara sesama manusia.

Kemanusiaan

Syariat Islam bersifat kemanusiaan sejagat kerana ianya diturunkan oleh Allah swt untuk seluruh manusia dan rahmat Allah kepada mereka sepanjang zaman dan di semua tempat.

Keadilan mutlak

Keadilan bermakna meletakkan sesuatu pada tempatnya menurut hitungan sebenarnya daripada Allah. Adalah menjadi tujuan Islam itu menegakkan keadilan mutlak dikalangan manusia seluruhnya dengan menegakkan persaudaraan dikalangan mereka, memelihara kehormatan agama, nyawa, akal, maruah, keturunan dan harta benda dengan bermatlamat dunia dan akhirat.

TUJUAN SYARIAT ISLAM.

1. MEMELIHARA AGAMA – Allah menghukum orang yang menukar agama (murtad) dengan hukuman bunuh sebagai balasan demi menjaga agama Allah yang agung ini sentiasa terpelihara bukan untuk dipermainkan. Allah telah menerangkan di dalam Al-Qur’an:

“Dan barangsiapa dari kamu yang berpaling daripada agamanya, lalu ia mati padahal ia tetap kafir, maka gugurlah amal-amal mereka di dunia dan akhirat. Dan mereka akan jadi ahli neraka yang mereka (akan) kekal di dalamnya” (Al Baqarah : 217)

2. MEMELIHARA AKAL – Allah mengharamkan benda-benda yang memabukkan kerana hendak memelihara akal manusia. Kita dapat perhatikan orang-orang yang mabuk disebabkan bahan-bahan tersebut perangainya sama seperti binatang mereka sanggup melakukan sesuatu yang tidak baik tanpa perasaan malu. Islam telah menjelaskan bahawa arak adalah ibu segala yang keji dan kotor. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Arak adalah ibu segala kejahatan”

Islam menghukum kepada mereka yang sabit melakukan kesalahan dengan 40 kali sebat berdasarkan kepada hadis Nabi saw:

“Bahawasanya Rasulullah saw telah menyebat orang yang minum arak sebanyak 40 kali sebat” dan abu baker menyebat 40 kali dan Umar menyebat 80 kali”

3. MEMELIHARA NYAWA – Islam telah menetapkan bahawasanya sesiapa yang menghilangkan nyawa manusia lain akan dikenakan hukuman bunuh balas. Ini beerti bahawa qisas terhadap seorang adalah perlu untuk memelihara keselamatan hidup (nyawa) orang lain, dengan ini akan memberi pengajaran yang berkesan kepada sesiapa sahaja yang berani melakukan perbuatan tersebut.

4. MEMELIHARA HARTAHarta perlu dipelihara dengan baik, maka Allah mensyariatkan supaya mereka yang mencuri harta dikenakan hukuman apabila mempunyai syarat-syarat dan bukti yang sahih. Oleh kerana itu balsannya adalah dipotong tangannya apabila syarat-syaratatau bukti-bukti telah mencukupi bagi si pencuri tersebut. Inilah keadilan Islam supaya manusia itu sentiasa menghormati harta atau hak orang lainnya.

5. MEMELIHARA KETURUNANIslam menjamin keselamatan ummah dan keturunan pemeluknya. Untuk melangsungkan zuriat manusia di dunnia ini maka disyariatkan perkahwinan. Perkahwinan juga merupakan satu saluran yang sah bagi memenuhi naluri manusia. Justeru itu Islam mengharamkan sama sekali hubungan jenis tanpa mengikut saluran yang sah di sisi syarak. Hukuman yang setimpal dikenakan kepada mereka yang melakukan jenayah tersebut adalah 100 kali sebatan bagi yang belum berkahwin manakala yang sudah berkahwin direjam dengan batu yang sederhana sampai mati. Ini berdasarkan kepada Firman Allah swt :

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali sebat; dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hokum Allah swt, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah disaksikan hukuman seksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An-Nuur ayat 2)

SUMBER PERUNDANGAN ISLAM

Dalil-dalil sumber perundangan Islam:-

*

Dalil yang disepakati oleh semua orang Islam iaitu Al-Qur’an dan As Sunnah.
*

Dalil yang disepakati oleh jumhur muslimin iaitu Ijma’ dan al Qiyas.
*

Sumber yang berlaku perbezaan pendapat dikalangan para ulama’, hatta dikalangan para ulama’ yang beramal dengan konsep qiyas. Bahagian ini merangkumi al-urf, al-istishab, al-istihsan, al-Masalih al-Mursalah. Syar’u man Qablana dan Mazhab al-Sahabi di mana sebahagian ulama’ mengambil ia sebagai sumber hokum sedangkan lain tidak menganggap ia sebagai hokum.

i)-Al-Qur’an

Ta’rif Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang bermaksud: “ialah lafaz dalam bahasa Arab diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang dapat melemahkan dengan sesuatu surah, dipindahkan dengan jalan mutawatir, bacaannya merupakan amal ibadah”

Petunjuk ayat-ayat al-Qur’an Nas-nas Al-Qur’an terbahagi kepada 2 perkara:

a)-Dalil yang merupakan nas yang terang. Dalil-dalil ini tiada berkehandakkan penjelasan atau huraian yang lain lagi. Contohnya dalam Firman Allah swt:

“Dan bagimu (suami) separuh dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak” (Surah An Nisa’ ayat 12)

b)-Dalil yang berupa hukum mumjal, am, musytarak (bersekutu). Ayat yang seperti ini berkehendakkan kepada penerangan hadith. Hadithlah yang menentukannya kepada maksud ayat tersebut.

Contoh ayat:

“Dirikanlah olehmu akan solat” (An nur ayat 77)

Ayat ini mumjal kerana ia tidak menerangkan cara atau peraturan solat, syarat atau rukunnya. Untuk mengetahui perkara ini perlu kita mengambil dalil dengan hadith Rasulullah saw:

“Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku solat”

PERANAN AL QUR’AN

1.

sebagai perundangan yang menjadi dasar hokum Islam yang sesuai dijalankan pada bila-bila masa dan segenap tempat
2.

al-qur’an menjadi petunjuk kepada seluruh manusia daripada kekufuran kepada hidayah.
3.

Sebagai khabar gembira kepada orang yang mentaati perintahnya dan amaran keras bagi orang yang melampaui batas.

ii)-As-Sunnah

Dari segi bahasa bermaksud perjalanan, perlakuan, amalan method atau cara hidup. As- Sunnah juga bermaksud membuka/merintis jalan sama ada yang baik atau yang buruk.Dari segi istilah apa-apa yang lahir daripada baginda Nabi saw sama ada perkataan atau sifat kejadian atau akhlak atau sirah (sejarah) sama ada sebelum diutuskan Nabi atau selepas diutuskan Nabi menjadi rasul. Sunnah pada istilah ahli-ahli Usul Fiqh iaitu apa yang diambil daripada Nabi saw daripada perkataan, perbuatan atau perakuan. Ini dapat menyimpulkan bahawa Sunnah terbahagi kepada 3 bahagian:

a)-Sunnah Qauliyah (perkataan) yang juga dinamakan hadith dan al-Khabar. Contohnya sabda Nabi saw:

Ertinya : “sesungguhnya segala macam amalan itu mengikut niatnya”

b)-Sunnah Fikliah (perbuatan) seperti solat yang ditunjukkan oleh Nabi saw sepertimana Sabda baginda:

Ertinya : “Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bersolat”

c)-Sunnah Taqririyyah (pengakuan) iaitu apabila Nabi saw melihat sesuatu tingkahlaku atau mendengar satu pertuturan para sahabat tetapi baginda tidak mengingkarinya, misalnya seperti pengakuan Nabi terhadap para sahabat yang memakan Himarulwahsyi (keldai liar).

iii)-Ijma’

Takrif Ijma’ dalam bahasa Arab:

Ertinya: “Persepakatan ulama’ mujathidin daripada umat Nabi Muhammad saw terhadap sesuatu hokum syara’ pada sesuatu masa selain daripada zaman baginda” Makna (ittifak) ialah ijmak atau sepakat, sama ada dalam bentuk I’tiqad atau kata atau perbuatan atau kelakuan.

Makna “Mujtahidin” takrif ini akan mengeluarkan orang awam, kerana biasanya mereka tidak mempunyai dalil atau sandaran. Dan mengeluarkan ijma’ sebahagian daripada ulama’ mujtahidin, kerana jaminan ‘Ismah hanya kepada ijma’ semua ulama’ mujtahidin. Sebenarnya Ijma’ mulai muncul sejak zaman sahabat di mana Abu Bakar ketika dikemukakan dengan sesuatu masalah, baginda akan menyelidikanya di dalam Al-Qur’an dan terus menghukum jika terdapat di dalam Al-Qur’an; tetapi sekiranya tiada didapati di dalam al-Qur’an beliau akan menyelidiki pula di dalam sunnah Rasulullah, jika ada akan dihukum menurut as-Sunnah, jika tiada beliau akan mengumpul para sahabat untuk bermesyuarat mengenai masalah tersebut. Kaedah persetujuan dalam menentukan hokum melalui mesyuarat ini dinamakan sebagai ijma’

Syarat-Syarat Ijma’

1.
1.

Para ulama’ mujtahidin bersifat adil dan sentiasa menjauhi perbuatan bid’ah.
2.

Semua ulama’ mujtahidin mengeluarkan pendapat yang serupa dalam satu zaman.
3.

terdapat beberapa ulama’ mujtahidin. Kalaulah kebetulan hanya seorang ulama’ mujtahidin sahaja dalam zaman itu pendapatnya tidak berupa ijma’
4.

Hukum yang diijmakkan adalah hokum syara’.
5.

Tiada seorang ulama’ mujtahidin menarik balik pendapatnya.

iv)-al-Qiyas

sebagai menerangkan hokum sesuatu perkara yang tidak terdapat didalam nas, dihubungkan dengan perkara-perkara yang telah diketahui hukumnya dengan nas yang terdapat di dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Contohnya, seperti diharamkan memukul kedua ibu bapa dinisbahkan dengan haramnya si anak, berkata (ah) kepada keduanya. Takrif dalam bahasa Arab:

Ertinya : “Ialah persamaan antara sesuatu tempat dengan tempat yang lain pada illat hokum syarak. Illat ini tidak begitu mudah faham dari dalil hokum itu semata-mata berpandukan fahaman bahasa.” Dari takrif di atas, dapat difahami bahawa qias mempunyai empat rukun iaitu:

1.

Asal iaitu tempat hokum yang sabit dengan dalil al-Qur’an atau hadith atau ijma’ seperti arak yang telah sabit hukumnya dengan al-Qur’an.
2.

Hukum Asal: iaitu hokum syarak yang sabit dengan dalil yang hendak diluaskan kepada tempat lain seperti hokum haram arak.
3.

Furuk: iaitu tempat dan hukumnya tidak ditegaskan dalam al-Qur’an atau hadith atau ijma’.
4.

Illat: iaitu suatu sifat yang serupa sebab atau mewujudkan hokum asal yang serupa dengan illat furuk seperti sifat arak dan tuak yang boleh memabukkan.





Read more

SYEIKH DR. WAHBAH AZ-ZUHAILI

Seorang ulamak dari Syiria. Dilahirkan di satu daerah di Damsyiq pada tahun 1932. Pengajian menengahnya di Syria, kemudian ke peringkat Universiti di al-Azhar (Mesir). Memperolehi Ijazah ‘Aliyah (B.A) di al-Azhar pada tahun 1956 dalam bidang Syari’ah Islam.

Kemudian menyambung pengajian ke peringkat M.A (tahun 1959) dan Phd (tahun 1963) di Universiti Kaherah (Cairo University). Sejak selesai Phd (tahun 1963) beliau menjadi pensyarah di Universiti Damsyiq dan pada tahun 1975 dianugerahkan gelaran Profesor. Beliau merupakan pakar dalam Ilmu Fiqh, Usul Fiqh dan Fiqh al-Muqaran (Fiqh Perbandingan). Telah menghasilkan banyak penulisan dalam pelbagai bidang ilmu Islam.

Karya beliau yang termasyhur ialah al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu yang merangkumi semua bab Fiqh meliputi 9 jilid besar.Karya-karya beliau yang lain ialah;
1. Tafsir al-Munir
2. al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Islami
3. al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh
4. Qissah Quraniyyah
5. at-Tafsir al-Wajiz
Read more

SYEIKH MUHAMMAD AL-GHAZALI

Seorang ulama’ yang masyhur di Mesir dan seluruh dunia Islam hari ini. Dididik oleh al-Azhar sejak dari peringkat pengajian rendah hinggalah ke pengajian tinggi dan akhirnya muncul sebagai seorang ulama’ kelahiran al-Azhar yang berwibawa.

Kecintaannya pada al-Azhar amat mendalam. Kerana itu beliau sentiasa melazimi pakaian para ulama’ al-Azhar; berjubah dan berserban. Pernah suatu ketika beliau melawat ke satu negeri di Eropah. Semasa dalam keretapi, ada seorang menegur beliau; ‘Tidak bolehkah engkau menanggalkan serban dan jubah engkau dan engkau memakai kot sepertimana orang di sini biasa memakainya”.

Beliau menjawab; “Apa salahnya aku memakai pakaian yang biasa dipakai oleh ulama’-ulama’ al-Azhar. Jika seorang anggota tentera, anggota polis dan sebagainya berbangga dengan uniform tentera dan polisnya, maka aku juga berbangga dengan uniform al-Azharku (yakni berserban dan berjubah)”. Lahir tahun 1917. Semasa mudanya sempat berjumpa dengan Imam Asy-Syahid Hasan al-Banna dan menjadi anak murid serta pengikut setia beliau hingga saat kematiannya kerana ditembak. Dalam satu tulisannya, Syeikh Muhammad al-Ghazali pernah menulis; “Imam Hasan al-Banna adalah mursyidku yang pertama”.

Pernah dalam satu wawancara oleh Radio Mesir secara lansung, beliau ditanya oleh juru-hebah; “Siapakah tokoh yang membentuk keperibadiannya?”. Syeikh Muhammad al-Ghazali menjawab; “Hasan al-Banna”. Terus ketika itu juga siaran secara lansung itu dihentikan gara-gara kerana nama Imam Hasan al-Banna disebut. Kerajaan Sekular Mesir amat memusuhi Imam Hasan al-Banna dan Ikhwan Muslimun. Kerana itu, nama beliau dilarang sama sekali disebut dalam radio mahupun televisyen. Syeikh Muhammad al-Ghazali menjadikan penulisan sebagai medan dakwah utama beliau di samping lisan. Beliau telah menulis lebih 50 buah buku di samping artikel-artikel yang disiarkan dalam majalah-majalah dan akhbar. Buku-buku tulisan beliau mendapat sambutan yang luar biasa umat Islam di seluruh terutama di kalangan Arab. Kesemua buku beliau menjadi best seller di Tanah Arab dan

Dunia Islam serta telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa di seluruh dunia termasuk bahasa Melayu. Antara buku tulisan beliau ialah;
1. Kaifa Nafham al-Islam
2. Al-Janib al-'Atifi Fil-Islam
3. 'Aqidatul-Muslim
4. As-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahlil-Fiqhi Wa Ahlil-Hadith
5. Laisa Minal-Islam
6. Al-Islam Wa al-Istibdad as-Siyasi
7. Al-Islam Wa al-Audha' al-Iqtisadiyyah
8. Dustur Wihdah as-Saqafah Baina al-Muslimin
9. al-Haq al-Murr
10. Akhalaqul-Muslim

Syeikh Muhammad al-Ghazali meninggal pada tahun 1996 di Arab Saudi dan dikebumikan di perkuburan al-Baqi', tempat bersemadinya sahabat-sahabat Nabi r.a..
Read more