RECENT POST

DAHULUKAN BENDERA LA ILAHA ILL-ALLAH BUKAN PANJI MORAALISME

Dalam bab kedua buku Petunjuk Jalan yang berjudul Wujud Metode Al-Qur’an, Sayyid Quthb menganalisa mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bukan bendera lainnya. Padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.

Tidakkah ada pilihan strategi lain yang lebih memperkecil resiko dan mengandung maslahat lebih besar? Misalnya, mengapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak diarahkan Allah untuk mengibarkan panji Moralisme yang lebih solutif menghadapi problema perilaku bangsa Arab yang saat itu sarat diwarnai kerusakan dan kebejatan? Bila bendera Moralisme yang dikibarkan sejak hari pertama sangat mungkin menghasilkan penerimaan kaum pejuang susila dari kalangan bangsa Arab yang sudah muak menyaksikan tersebarnya kerusakan moral. Perhatikanlahlah tulisan Sayyid Quthb berikut ini:

Pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat.

Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :

"Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya akan diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya."

Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman jahiliyah: "Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya."

Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.

Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang kuno maupun yang modern.

Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya adalah dalam kekuasaan Muhammad s.a.w. untuk mengumumkan suatu da'wah reforrnasi yang menyangkut dengan perbaikan budi pekerti, pembersihan masyararakat dan pensucian diri.

Barangkali ada yang mengatakan : Sesungguhnya Muhammad shollollahu alaihi wa sallam pada waktu itu dapat menjumpai jiwa-jiwa yang baik yang merasa sakit melihat kekotoran ini, sebagaimana dijumpai oleh setiap reformis susila di setiap lingkungan. Jiwa-jiwa ini dipengaruhi oleh keluhuran dan keinginan untuk memperkenankan seruan reformasi dan pembersihan.

Barangkali ada orang yang berkata : Seandainya hal itu diperbuat oleh Rasulullah s.a.w. semenjak dari pertama kali tentulah ia akan diperkenankan oleh sejumlah orang yang baik, yang bersih budi pekertinya, yang suci jiwa mereka, sehingga mereka itu lebih dekat untuk menerima dan memikul aqidah, dan tidak perlu lagi mengobarkan seruan La ilaha illa-llah yang menimbulkan opposisi yang kuat semenjak permulaan jalan.

Jelas sekali bahwa saat Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan Allah untuk berda’wah di Mekkah beliau menghadapi problema kebangkrutan moral di tengah masyarakat. Adalah sangat wajar bila orang mengusulkan agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengawali da’wahnya dengan mengibarkan bendera Moralisme. Artinya bisa saja Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyerukan suatu gerakan reformasi moral, apalagi beliau sendiri terkenal berakhlak mulia.

Jika ini dijadikan entry point beliau dalam mengawali da’wah Islam tentulah akan begitu banyak pendukung berbaris di belakang beliau. Bukankah ini jauh lebih kondusif daripada mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah yang hanya menimbulkan kegoncangan dan perlawanan dari kebanyakan bangsa Arab? Lalu mengapa bukan jalan ini yang ditempuh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam? Mengapa beliau malah menempuh jalan yang susah-payah menghasilkan begitu banyak rintangan bahkan repons balik yang keras? Simaklah penjelasan Sayyid Quthb selanjutnya:

Tetapi Allah Yang Mahasuci mengetahui bahwa bukan itu jalannya. la mengetahui bahwa akhlak hanya dapat berdiri di atas dasar suatu aqidah yang meletakkan ukuran dan menetapkan nilai : sebagaimana juga menetapkan kekuasaan yang akan menjadi sandaran ukuran dan nilai ini dan pembalasan yang dimiliki kekuasaan ini, dan memberikannya baik ke­pada yang mematuhi maupun kepada yang melanggar. Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.

Islam merupakan ajaran yang memposisikan aqidah sebagai fondasi sedangkan akhlak sebagai bangunan yang berdiri di atas fondasi tersebut. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan untuk mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah terlebih dahulu bukan panji Akhlak atau Moralisme. Sebab bendera La ilaha ill-Allah yang mencerminkan penancapan fondasi aqidah haruslah didahulukan sebelum berharap masyarakat dapat merubah atau memperbaiki akhlaknya. Sehingga jelas dan tegas Sayyid Quthb menyatakan: ” Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.”

Bilamana aqidah telah tertancap dengan benar dan lengkap dalam suatu masyarakat maka mereka akan memiliki motivasi yang tidak terkait dengan kepentingan duniawi apapun ketika menegakkan segenap tuntutan aqidah tersebut. Mereka akan menjadikan sesuatu di luar dunia sebagai pendorong utama mereka dalam mewujudkan kelengkapan bangunan Islam di atas fondasi aqidah kokoh tadi. Motivasi tersebut berupa cita-cita menikmati janji Allah di akhirat, yakni: Surga. Hal inilah yang menyebabkan mereka sejak awal rela bersusah-payah mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah walaupun berakibat derita dan permusuhan dari keluarga dan masyarakat mereka sendiri. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb selanjutnya:

Untuk mendirikan agama ini mereka telah mendapat satu janji, di mana kemenangan dan kekuasaan tidak ikut serta dan bahkan juga tidak bagi agama yang berada di tangan mereka ini, suatu janji yang tidak berhubungan dengan sesuatupun dalam kehidupan dunia ini, sebuah janji, yaitu: sorga. Inilah hanya yang dijanjikan kepada mereka atas perjuangan yang penuh derita dan penderitaan yang pahit, dan terus berda'wah dan menghadapi kejahiliyahan dengan sesuatu hal yang dibenci oleh mereka yang berkuasa di tiap zaman dan di tiap tempat : yaitu: La ilaha illa-llah.

Para sahabat tatkala diajak kepada seruan aqidah tidak dijanjikan oleh Nabi suatu kepentingan duniawi apapun. Mereka tidak dijanjikan apapun selain surga di akhirat. Mereka tidak dijanjikan bakal mendapat perbaikan nasib berupa gaji besar atau kedudukan prestisius berupa jabatan formal di tengah masyarakat. Maka pantaslah bilamana istri Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu 'anha melontarkan kalimat sebagai berikut:

لو أن أول ما نزل من القرآن لا تشربوا الخمر لقالوا لا والله لا نترك الخمر أبدا و لو كان أول ما نزل من القرآن لا تزنوا لقالو لا و الله لا نترك الزنا أبدا و لكن كان أول ما نزل من القرآن سور المفصل فيها ذكر الجنة و النار حتى ثابت القلوب إلى ربها ثم نزل الحلال و الحرام

“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.”

Saudaraku, inilah barangkali pokok pangkal masalah di negeri kita dan banyak negeri muslim lainnya. Banyak orang tahu bahwa ada kebangkrutan moral yang berkembang dimana-mana dewasa ini. Namun kita tidak secara konsisten membenahi masalah dari akarnya, yakni pembinaan aqidah. Kita mengira bahwa kerusakan moral dapat diselesaikan hanya dengan mengibarkan bendera gerakan reformasi moral dengan penuh semangat. Kita menyangka bahwa urusan perbaikan moral tidak ada kaitannya dengan urusan aqidah serta ideologi. Kita tidak sadar bahwa manusia tidak mungkin disuruh mentaati suatu perintah atau menjauhi suatu larangan bila di dalam dirinya belum ada fondasi aqidah serta keyakinan kokoh terhadap fihak yang menjadi sumber perintah dan larangan tersebut.

Di sinilah kita lihat mengapa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam secara konsisten di bawah bimbingan wahyu Allah terus mendahulukan pengibaran bendera La ilaha ill-Allah sebelum pengibaran panji Moralisme. Padahal beliau sangat faham bahwa kebangkrutan moral sedang merajalela di tengah masyarakat. Padahal beliau adalah seorang manusia yang dikenal luas memiliki akhlak mulia yang dapat menjadi teladan dalam bidang pembenahan moral dan akhlak. Padahal beliau sangat faham bahwa langkah pengibaran bendera La ilaha ill-Allah merupakan pilihan yang tidak populer di tengah masyarakatnya. Padahal beliau sangat faham bahwa pengibaran panji Moralisme sangat mugkin mendulang simpati masyarakat luas.

Saudaraku, prioritas utama da’wah Islam bukanlah memperbanyak pendukung atau konstituen. Walaupun tentunya selaku aktivis da’wah kita pastilah akan sangat gembira bila melihat da’wah Islam memperoleh dukungan banyak orang. Tetapi itu bukanlah prioritas utama.

Prioritas utama da’wah Islam ialah memastikan gerakannya berada di atas jalan yang diridhai Allah, jalan yang telah ditempuh oleh teladan utama kita bersama, yaitu jalan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Memang idealnya ialah gerakan da’wah Islam berada di atas jalan yang diridhai Allah sambil memperoleh dukungan banyak orang. Tetapi belajar dari teladan utama kita Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tidaklah demikian keadaannya. Setidaknya tidaklah demikian keadaannya saat da’wah berada dalam tahap awal perjuangannya menghadapi kejahiliyahan masyarakat yang masih begitu dominan. Wallahu a’lam bish-showwaab. -

Ya Allah, curahkanlah kepada kami rahmat dan ridhaMu selalu. Bimbinglah kami selalu agar berada di atas jalanMu yang benar, jalan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Ya Allah, janganlah dunia menjadi pertimbangan utama kami saat berjuang di atas jalan da’wahMu. Ya Allah, kami mohon kepadaMu surgaMu dan segenap ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya. Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari nerakaMu dan segenap ucapan serta perbuatan yang dapat mendekatkan kami kepadanya.

Read more

KUNCI KEBAHAGIAAN


Biarpun liku-liku hidup yang dilalui terasa begitu payah, namun jika diri benar-benar mengenal Allah dan beribadat kepada-Nya, nescaya kita akan mendapat kebaikan, kebahagiaan dan ketenangan.

Namun jika kita ingkar kepada-Nya, jiwa pasti tidak tenteram walau tinggal di istana yang mewah nan megah. Ketahuilah bahawa di akhir kehidupan adalah pahit dan menderita kerana kita belum memiliki kunci kebahagiaan nan sejati.
Allah SWT berfirman yang bermaksud, “…dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta (berbagai-bagai jenis kekayaan) yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri."” (Surah al-Qashash [028], ayat 76)
Jika diteliti pengertian ayat ini, Allah SWT membela mereka agar tidak terjerumus ke dalam kejahatan di dunia dan di akhirat. Ini adalah janji dan berita gembira daripada Allah bagi orang-orang yang beriman bahawa Allah akan menghindarkan mereka (kerana keimanan mereka) dari semua keburukan orang kafir, godaan syaitan, keburukan diri sendiri, amal perbuatan yang jelek dan membantu meringankan beban mereka. Setiap Mukimin berhak atas pembelaan dan keutamaan seperti ini, sesuai dengan kadar keimanannya. Setiap orang diuji dengan perkara yang berbeza-beza dan percayalah ujian itu tanda kasih sayang Allah kepada kita.
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (untuk menerima apa yang telah berlaku itu dengan tenang dan sabar). Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Surah at-Taghaabun [064], ayat 11)
Berdasarkan ayat di atas, hendaklah kita memahami bahawa setiap musibah yang menimpa adalah ketentuan Allah. Apabila kita redha dengan dugaan ini, kita akan menerimanya dengan pasrah dan usahlah berputus asa berdoa agar ktia diberi kekuatan dan jalan untuk menghadapi ujian getir itu.
Empat kunci kebahagiaan Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, “Empat perkara yang membawa kebahagiaan iaitu wanita yang solehah, rumah yang luas, jiran yang baik dan kenderaan yang selesa!” (Hadis riwayat Ibnu Hibban) Kehidupan yang selesa adalah suatu bentuk kehidupan yang dialu-alukan oleh Islam di mana kehidupan yang sempurna memerlukan empat elemen asas yang penting iaitu:
  1. Wanita yang solehah - iaitu isteri yang baik yang dapat menguruskan keluarga dan rumahtangga dengan sempurna.
  2. Rumah yang luas yang boleh memberikan keselesaan untuk bermesra dengan keluarga dan anak-anak di samping dapat melapangkan fikiran dengan baik dan tenang.
  3. Jiran yang baik kerana jiran merupakan orang yang paling rapat selepas sanak saudara dan keluarga. Jiran yang baik dapat menjamin keharmonian hidup bermasyarakat sehinggakan ikatan kejiranan itu boleh bertukar seakan-akan sebuah kelurga yang kasih-mengasihi dan saling mengambil berat di antara satu sama lain.
  4. Kenderaan yang selesa kerana ia memberikan kemudahan dalam segala urusan.
Antara tabiat buruk yang mengancam kebahagiaan hidup ialah berfoya-foya dengan kehidupan mewah, boros harta dan membazir ketika berbelanja. Tabiat ini sering disebut dalam al-Quran sebagai punca kehancuran beberapa umat yang terdahulu. Oleh itu hendaklah kita sentiasa berdoa agar ditetapkan hati supaya tidak mudah condong ke arah kemungkaran dan kesesatan.
“….Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Surah ali-‘Imran [003], ayat 8)

__._,_.___

Dalam sepotong ayat dan hadis ada menerangkan:

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman dengan ayat-ayat Allah dan merekalah pembohong-pembohong." (An-Nahl ayat 105)

"Barangsiapa mengatakan dariku apa yang aku tidak katakan, maka hendaklah Ia bersedia mengambil tempatnya dari Neraka."(HR: Az-Zahabi dlm Al-Kabair.)

-Berpesan-pesan sesama insan-
Read more

AGAMA BUKAN CANDU UNTUK MENGKHAYALKAN ORANG MISKIN


“Dan berikanlah kepada kaum keluargamu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membazir dengan pembaziran yang melampau. Sesungguhnya orang-orang yang membazir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula sangat kufur kepada Tuhannya”. (Surah al-Isra: 26-27).

Tertarik apabila membaca kisah al-Imam al-Nawawi (631-676H) yang diminta oleh Raja pada zamannya al-Malik al-Zahir untuk memberikan fatwa bagi mengharuskan Raja mengambil harta rakyat untuk digunakan memerangi musuh yang mengancam negara iaitu tentera Tatar. Tujuan itu pada zahirnya baik kerana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Harta itu pun hendak digunakan untuk keperluan jihad.

Namun ramai ulama yang telah dibunuh ketika itu kerana enggan mengeluarkan fatwa berkenaan. Al-Nawawi juga enggan menulis surat sokongan terhadap tindakan Raja Zahir itu sekalipun beliau tahu pengambilan harta itu untuk kepentingan negara juga.

Apabila Raja bertanya kepada beliau mengapa beliau enggan menyokong? Beliau menjawab: Setahu saya engkau dahulunya seorang hamba, tidak mempunyai harta. Kemudian Allah memberikan kurniaan kepadamu lalu diangkat engkau menjadi seorang raja. Aku dengar engkau memiliki seribu hamba lelaki yang setiap mereka memiliki talipinggang daripada emas.

Engkau juga ada memiliki dua ratus hamba perempuan, dan setiap mereka memiliki sebekas perhiasan. Jika engkau belanjakan itu semua, sehingga hamba-hamba lelakimu hanya memakai tali pinggang kain, dan hamba-hamha perempuanmu hanya memakai baju tanpa perhiasan, juga baitul mal sudah tiada simpanan wang, harta dan tanah lagi, maka aku akan fatwakan untukmu keharusan mengambil harta rakyat itu. Sesungguhnya yang menolong jihad dan selainnya ialah penyerahan diri kepada Allah dan mengikut jalan nabiNya s.a.w.
(lihat: ‘Abd al-Ghani al-Daqar, al-Imam al-Nawawi, 144-145, Damsyik: Dar al-Qalam).

suka dengan jawapan al-Imam al-Nawawi ini. Bahawa kita tahu, selepas ini banyak forum-forum perdana, ceramah-ceramah di radio dan televesyen akan memperkatakan tentang kewajipan berjimat cermat. Maka ustaz, ustazah dan penceramah pun –atas pemintaan penaja yang membayar harga ceramah- akan bersungguh-sungguh menyuruh orang-orang bawahan untuk berjimat cermat.

Dalil-dalil pun akan dibaca. Mungkin akan ada ustazah yang mencari cerita-cerita ajaib yang baru untuk dikaitkan dengan bab jimat cermat dan jangan membazir. Mungkin akan ada penceramah yang cuba menangis-nangis –seperti seorang pelakon berjaya yang menerima anugerah- bercerita kepada mak cik-makcik yang kusyuk menonton tentang azab seorang yang membazir ‘nasi lemaknya’.

Datanglah orang-orang kampung mendengar forum perdana dengan basikal atau motosikal sebagai menyahut seruan agar tidak membazir petrol. Adapun penceramah, datuk-datuk pengajur, YB-YB hanya menggunakan kenderaan mewah yang berkapasiti atas daripada 2000cc. Tujuannya untuk mengelakkan pembaziran wang kerajaan yang terpaksa dibayar kepada empunya kenderaan 2000cc ke bawah, lebih tinggi daripada 2000 ke atas.

Maka insaflah mak cik dan pak cik yang barangkali teringatkan tulang ikan yang pernah dibuangnya padahal masih ada sedikit sisa isinya yang melekat. Itulah membazir namanya. Maka, atas keinsafan dan taubat itu, mungkin ada yang akan mula mengurangkan makan nasi lemak daripada sebungkus seorang kepada sebungkus yang dikongsi bersama. Air kopinya yang memang sudah ‘ceroi’ akan ditukar kepada yang warna hitamnya antara kelihatan dan tidak. Maka selamat negara kita ini, disebabkan pakcik dan makcik, pak long dan mak long, pak lang dan mak lang di kampung sudah mengubah gaya hidup mereka.

Elok bertanya soalan macam ni, tapi soalan yang belum ‘dijakimkan’, “apakah agama ini dihantar oleh Allah untuk menghukum manusia bawahan dan menghalalkan yang lain tidur dalam kekenyangan dan kemewahan?”. Sebelum harga minyak naik, telah sekian mereka yang berada di teratak usang itu menjimat makan dan pakai. Saban hari mereka mengira belanja untuk memboleh mereka terus hidup di kala negara dunia belum menghadapi krisis harga minyak.

Kita tidak mahu membicarakan tentang kenaikan harga minyak dari sudut perjalanan ekonomi antarabangsa. Telah banyak pakar-pakarnya bicarakan. Tapi saya ingin bincangkan tentang soal pembaziran dan jimat-cermat. Ya, memang Islam memusuhi pembaziran. Bahkan al-Quran tidak pernah mempersaudarakan antara mana-mana pembuat dosa dengan syaitan, melainkan mereka yang membazirkan.

Allah menyebut dalam al-Quran: (maksudnya): “Dan berikanlah kepada kaum keluargamu, dan orang miskin serta orang musafir akan haknya masing-masing; dan janganlah engkau membazir dengan pembaziran yang melampau. Sesungguhnya orang-orang yang membazir itu adalah saudara-saudara syaitan, sedang syaitan itu pula sangat kufur kepada Tuhannya”. (Surah al-Isra: 26-27).

Demikianlah Allah persaudarakan pembazir dengan syaitan. Kesan pembaziran sangat besar. Lihat negara kita yang kaya dengan berbagai hasil. Sepatutnya kita akan tetap kukuh dan setiap rakyat akan menikmati kekayaan ini dengan adilnya. Namun, disebabkan pembaziran, harta negara yang sepatutnya dapat dimakan puluhan tahun, tetapi surut mendadak dalam masa beberapa tahun.

Maka, yang patut mendapat bantuan dan hak, tidak cukup untuk sampai kepadanya. Barang keperluan pula bertukar menjadi mahal. Pembaziran memusnahkan kehidupan rakyat bawahan dan menghalang hak yang sepatutnya sampai kepada mereka. Maka betapa wajar untuk para pembazir itu dipersaudarakan dengan syaitan. Apatah lagi dalam banyak keadaan, pembaziran itu lahir dari keangkuhan dan kesombongan. Sifat-sifat itulah jua yang menjadi asas kepada kekufuran syaitan.

Soalannya, mengapakah apabila kita membicarakan tentang pembaziran, kita hanya terbayang orang-orang bawahan di kampung ataupun bandar. Jika kita ingin meminta supaya setiap warga negara ini berjimat dan jangan membazir, maka bermulalah daripada atas. Bukan sekadar untuk ‘mengenakan si miskin yang sekian lama telah berjimat dan sudah tidak tahu apa yang hendak dijimatkan lagi. Mengapa kita hanya terbayang rakyat yang berada dalam rumah persendirian dan berbelanja dengan wang poketnya yang sudah lelah?

Kita sepatutnya terlebih meneliti semula bagaimana perbelanjaan yang menggunakan harta negara dan rakyat yang sedang berjalan di istana-istana, kediaman-kediaman rasmi kerajaan di peringkat negara dan negeri?. Apakah wajar di kala ini keraian untuk orang-orang besar sama ada sultan atau menteri begitu mewah? Makanan yang dihidangkan untuk mereka, harga satu meja kadang-kala boleh dimakan oleh ratusan rakyat bawahan. Karpet yang dipijak oleh mereka harganya ribuan bungkusan nasi yang dimakan oleh ‘orang biasa’.

Apakah patut di saat yang sebegini, ada istana atau kediaman rasmi menteri yang hendak ditambah mewahkan? Apakah patut orang-orang besar ini diraikan dengan hiburan atau pertunjukan dan konsert yang menelan puluhan ribu ringgit sempena sesuatu kunjungan mereka. Wang itu, wang negara. Wang itu, wang rakyat.

Apakah dalam masa yang sebegini mereka masih mendapat peruntukan untuk bersantai, bermain golf dan ‘berhiburan’ dengan menggunakan wang rakyat bawahan yang disuruh menjimatkan nasi lemak dan air kopi mereka?. Pembaziran sebegini lebih rapat menjadi saudara syaitan dibanding wang persendirian yang dibelanjakan.

Meminjam falsafah al-Imam al-Nawawi yang saya sebutkan tadi, jika orang atasan telah benar-benar berjimat, maka wajarlah untuk dikurangkan subsidi rakyat. Al-Nawawi telah dibuang negeri kerana enggan bersekongkol dengan perkara yang seperti ini. Namun, jika itu tidak dilakukan, ulama bukan burung kakak tua.

Dalam menulis perkara ini risiko amat besar.Tapi tanggungjawab di hadapan Allah lebih besar daripada segala-galanya. Para ulama dahulu jauh lebih mulia, tidak dibandingkan kedaifan skita ini. Pun mereka telah menunaikan tanggungjawab al-Amr bil Ma’ruf dan al-An-Nahy ‘an al-Munkar ini. Semoga Allah menimbang tinta para ulama dengan darah para syuhada.

Telah berlaku tahun kesusahan dan kelaparan yang amat sangat di Semenanjung Arab pada zaman Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khattab.. Dikenali dengan ‘Am al-Ramadah kerana seakan bagaikan warna ramad atau abu disebabkan kekurangan hujan, warna tanah dan warna kulit manusia yang bertukar disebabkan kekeringan. Ini berlaku pada antara tahun 17H dan 18H selama sembilan bulan.

Amirul Mukminin telah berhempas pulas menguruskan harta negara ketika itu bagi mengatasi kesusahan rakyat. Di samping kecemerlangan pengurusan, yang ingin disebutkan di sini kecemerlangan pendirian dan sikap. Ibn Jarir al-Tabari meriwayatkan bahawa ‘Umar bin al-Khattab tidak memakan pada tahun berkenaan lemak haiwan, susu dan daging sehingga orang ramai dapat memakannya. Barangan makanan berkurangan di pasar.

Pada suatu hari pekerjanya dapat membeli untuknya lemak dan susu namun dengan harga yang agak tinggi. ‘Umar enggan makan bahkan berkata: “Engkau telah menyebabkan lemak dan susu menjadi mahal, sedekahkan keduanya, aku bencikan pembaziran. Bagaimana aku dapat memahami keadaan rakyat jika tidak mengenaiku apa yang mengenai mereka?”. (Al-Tabari, 2/358, Beirut : Dar al-Fikr).

Juga diriwayatkan bahawa suatu hari pada tahun berkenaan disembelih unta lalu dimasak dan dibahagikan kepada orang ramai. Lalu diceduk masakan itu untuk dihidangkan juga buat ‘Umar. Tiba-tiba yang diceduk itu bahagian belakang unta dan hatinya. Lalu ‘Umar bertanya: “Dari mana diperolehi ini?”. Daripada unta yang kita sembelih hari ini. Kata ‘Umar: “Oh! Alangkah buruknya aku ini sebagai pemimpin, jika aku memakan bahagiannya yang baik lalu aku berikan rakyat makan yang sisa” (Ibn Sa’d, al-Tabaqat al-Kubra, 3/312, Beirut : Dar Sadir).

Maka alangkah buruknya seorang presiden, atau sultan, atau raja, atau perdana menteri, atau menteri besar, atau menteri yang makan dengan mewah daripada peruntukan harta negara atau negeri sedangkan rakyatnya dalam kesusahan. Ketika rakyat membilang butiran beras, helaian ringgit untuk persekolahan anak, keperitan membayar sewa rumah, api dan air, sementara mereka yang berkuasa ini pula menghadiri jamuan negara dan negeri itu dan ini.
Bermewahan dengan pertunjukan dan hiburan dari peruntukan wang negara. Kemudian bercuti rehat, tanpa rakyat ketahui apakah kepenatannya untuk rakyat. Kos cuti itu pula ditanggung oleh negara tanpa sebarang pulangan keuntungan buat rakyat. Alangkah zalim! Alangkah keji sikap yang sedemikian rupa.

Kadang-kala begitu hairan apabila seseorang dianggap ‘berjiwa rakyat’, hanya kerana makan nasi yang dijamu oleh rakyat, atau masuk ke kampung mendukung anak rakyat untuk beberapa minit bagi membolehkan wartawan mengambil foto. Apakah itu dinamakan berjiwa rakyat?

Jika hendak diiktiraf sebagai berjiwa rakyat, rasailah apa yang rakyat rasai. Orang seperti ‘Umar bin al-Khattab lebih mulia daripada segala keturunan atau pangkat yang ada di kalangan manusia. Kemuliaannya telah diiktiraf oleh Allah dan RasulNya. Dia ahli syurga dengan jaminan Allah dan RasulNya sementara politiknya tidak ada saingan yang menggugatnya. Namun tetap amanah dan jujurnya terhadap rakyatnya. Merasai penderitaan rakyat.

Beliau idola kepimpinan kita sepatutnya. Walaupun beliau tidak pernah menyuruh orang menyembah atau menjulangnya, namun beliau dipuja oleh sejarah dan diangkat oleh Allah.
Kenaikan harga minyak menaikkan harga barang. Orang berpendapatan rendah menjadi mangsa. Agama berperanan untuk menyedarkan semua pihak tentang tanggungjawab terhadap rakyat. Dalam keadaan begini, antara perkara pertama yang patut dibentang kepada rakyat adalah pengurusan kemasukan dan pengagihan zakat.

Zakat yang mungkin sampai kepada peringkat bilion ringgit di seluruh negara mesti diagihkan secara telus dan bijaksana.

Mengapa masih ada fakir miskin yang bagaikan meminta sedekah kepada pihak yang menguruskan zakat? Mengapa program tv lebih menjumpai si miskin dibanding pihak yang menguruskan zakat? Mengapa zakat masih berbaki dengan begitu banyak setiap tahun sedangkan kemiskinan masih banyak? Mengapa pihak yang menguruskan zakat kelihatan bertambah mewah, sementara yang patut menerima hak kelihatannya bertambah letih dengan keadaan sekarang?

Di masa inilah peranan zakat bagi memastikan setiap yang memerlukan memperolehinya tanpa kerenah birokrasi yang bukan-bukan. Jangan sampai untuk mendapat RM150 si miskin berulang alik berkali-kali dengan tambang sendiri, sementara yang mendakwa amil zakat mengisi minyak kereta dengan wang zakat atas nama amil! Ramai kata kita berjaya menguruskan zakat sebab kutipan yang tinggi.Ingin katakan, pengurusan yang berjaya itu bukan sahaja kutipan semata, tetapi juga pengagihan secara telus, bijaksana dan bertanggungjawab.

Dalam usaha kerajaan menangani kemelut ekonomi hari ini, perkara-perkara yang disebutkan ini mestilah dipandang serius. Kejayaan sesebuah kerajaan menghayati penderitaan rakyat akan menjadikan mereka lebih disayangi dan disokong. Jika orang atas mengubah cara hidup, kita akan berkempen untuk semua agar mengubah cara hidup. Jika orang agama disuruh berkempen orang bawahan agar mengubah cara hidup, sementara melupai yang di atas, mereka sebenarnya cuba menjadikan agama sebagai candu agar seseorang melupai masalah yang sebenar.

Read more

BIAR KITA MISKIN HARTA DAN KUASA, TAPI JANGAN KITA MISKIN JIWA

Ramai orang tidak dapat membezakan antara keseronokan dengan kebahagiaan atau ketenangan jiwa. Atau mungkin mereka tidak pernah menikmati kebahagiaan, sekalipun seringkali mengecapi keseronokan.

Begitu ramai penghibur yang bertaraf lima bintang yang berjaya menjadikan ribuan peminatnya bersorakan gembira apabila melihat pertunjukannya, tetapi dia sendiri tidak bahagia.

Maka tidak hairanlah jika ramai artis ternama terlibat dengan dadah dan hidup dalam tekanan. Sesungguhnya keseronokan bukan semestinya kebahagiaan atau ketenangan jiwa.
Sesiapa yang kita lihat Allah tidak merezekikan kepadanya keseronokan atau kegembiraan tertentu, bukanlah bererti Allah tidak memberikan kepadanya ketenangan jiwa. Maha luas kurniaan Allah, betapa ramai orang yang kurang harta dan rupa, tetapi lebih bahagia daripada yang hartawan dan rupawan.

Bukan semestinya seorang raja, presiden, perdana menteri dan menteri itu lebih bahagiaan perasaan dan jiwanya dari seorang guru yang tidak dipagari pengawal, tidak dikenali ramai melainkan murid-muridnya yang masih mentah dan terpencil.

Entah berapa ramai mereka yang berjawatan besar itu yang jauh lebih serabut perasaan dan jiwa mengenangkan masa depan kedudukan, pengikut dan nasibnya. Lebih daripada keserabutan ribuan manusia yang lain.

Mungkin meja makan orang besar itu hebat, layanannya istimewanya, makanannya mahal, tempat tidurnya enak, kenderaannya mewah, sorak-sorai untuknya meriah, tetapi kebahagiaan dan ketenangan jiwa belum tentu muncul di celahan itu semua. Bahkan, berapa ramai manusia dalam dunia ini yang Allah azabkan mereka menerusi harta dan anak pinak mereka.

Firman Allah mengenai golongan munafik: (maksudnya) “Oleh itu, janganlah engkau tertarik hati kepada harta benda dan anak-anak mereka, (kerana) sesungguhnya Allah hanya mahu menyeksa mereka dengan harta benda dan anak-anak itu dalam kehidupan dunia” (Surah al-Taubah: ayat 55). Islam bukan memusuhi harta, tanpa harta bukan punca sebenar ketenangan jiwa.

Ramai insan apabila tidak memahami kebesaran Allah menyangka bahawa harta dan kuasa adalah segala-galanya. Lalu dia menganggap sesiapa yang tidak kaya raya dan berkuasa tidak mendapat kurnia kebahagiaan daripada Tuhan. Seakan kurniaan Tuhan itu hanya tertumpu kepada empunya kuasa dan harta.

Anggapan ini teramat silap. Ya! Harta dan kuasa boleh menjadi faktor yang membawa ketenangan dan kebahagiaan jiwa jika ia dikendalikan dengan betul. Namun, jika tidak ia boleh bertukar menjadi punca derita dan sengsara.

Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak dapat tidur lena dalam istana mewahnya, ketika si miskin sedang berdengkur menikmati nikmat tidur dalam rumah usangnya. Entah berapa ramai penguasa atau si kaya yang tidak berselera makan di hadapan hidangan mewahnya ketika si miskin dengan begitu enak menikmati sebungkus nasi yang dibalut dengan daun pisang..

Maha Agung Allah S.W.T, Dia memberi kurnia nikmatNya dengan berbagai cara dan tanpa diduga.

Teringatkan satu ceramah Buya Hamka r.h dalam satu rakaman. Beliau menceritakan bagaimana suatu hari ketika beliau menaiki kenderaan mewah dengan seorang kaya melalui sawah padi, tiba-tiba melihat seorang petani yang berehat dari kepenatan bekerja, sambil isterinya menghidangkan makan tengahari.

Walaupun hidangan itu amat biasa sahaja, tetapi dimakan oleh petani tadi dengan penuh selera. Lalu orang kaya yang bersama Buya Hamka berkata: “Buya, saya ada rumah besar dan kenderaan mewah, tetapi tidak pernah berpeluang makan begitu berselera seperti petani itu”.

Ya! Demikianlah Allah membahagi-bahagikan nikmatNya. Sesiapa yang diberikan makanan yang hebat, belum tentu dapat menikmati keenakan itu di lidahnya. Sesiapa yang diberikan tempat tinggal yang mewah, belum tentu dikurniakan kenikmatan tinggal di dalamnya.

Maka, tidak hairan jika ada orang kaya, atau yang berkuasa kurang selera makan. Atau tidak hairanlah jika ada anak si kaya yang lari meninggalkan rumah mewah bapanya.
Janganlah pula hairan, jika ada orang miskin yang setiap hari menikmati suapan yang masuk ke dalam mulutnya, dan nyenyak tidurnya. Janganlah pula hairan jika ada perasaan yang lebih mengenang pondok usang dari banglo yang tersergam.

Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, namun insan hendaklah tahu bersyukur atas segala kurniaan Allah kepadanya. Yang miskin dan yang kaya hendaklah insaf bahawa tujuan daripada makanan dan tempat tinggal yang mewah itu adalah kesedapan dan keselesaan. Bukan semua yang memiliki kemewahan itu pula akan menikmatinya.

Juga bukan semua tidak memilikinya, akan terhalang mengecapi kenikmatannya. Maha Besar Allah yang membahagi-bahagikan kurniaanNya mengikut kehendakNya.

Kadang-kala apabila kita duduk di meja makan bersama orang kaya besar dan orang biasa. Kita lihat si kaya minum air kosong sahaja, ditanya kenapa? Jawabnya, “saya ada diabetis”. Dia enggan makan kebanyakan lauk yang dihidangkan, katanya saya ada “sakit jantung dan darah tinggi”.

Sementara ‘yang biasa’ biasa di sebelahnya, makan dengan enak tanpa sebarang pantang. Ya, memiliki sesuatu, belum tentu dapat menikmatinya. Untuk minum air kosong dan nasi kosong tidak memerlukan harta yang banyak. Juga air kosong dan nasi kosong biasanya merupakan makanan si miskin yang tidak mampu memiliki.

Jika Allah mahu, orang yang berada di tengah kemewahan akan hidup bagaikan si miskin di tengah kefakiran.

Sekali lagi, Islam bukan musuh harta, tetapi insan wajib insaf bahawa hanya Allah yang menentukan segala kurniaan. Maka jangan kita sombong atas apa yang kita kelihatan memilikinya, dan janganlah pula kita berdukacita atas apa yang tidak Allah kurniakan kepada kita. Entah berapa banyak nikmat yang telah Allah kurniakan kepada kita, kita tidak menyedarinya. Entah betapa banyak nikmat yang Allah halang orang lain merasainya, kita sangka mereka mengecapinya.

Saya bawakan mukadimah yang panjang ini supaya kita semua insaf bahawa pergantungan sebenar dalam kehidupan ini hanya Allah. Maka, jangan kita menjadi hina jiwa ini di hadapan orang lain hanya kerana melihat kuasa dan harta yang berada di tangannya lalu kita sangka mereka memiliki segala-gala. Jikapun kita kurang harta dan kuasa, janganlah kita miskin jiwa.
Apa yang ingin kita buru daripada kehidupan ini adalah ketenangan jiwa dan kebahagiaan perasaan. Bukan sekadar keseronokan atau kegembiraan yang berakhir dengan tamatnya sesuatu pesta atau sorakan semata.

Jika kebahagiaan dan ketenangan yang kita pilih, maka yang dapat memberinya hanyalah Allah. Memiliki harta dan kuasa belum tentu dapat mencapainya. Maka jangan kita mengemis kepada penguasa atau si kaya dalam mencari ketenangan hidup.

Merintihlah pada Allah, hanya Dia yang dapat menganugerahkan kita semua itu. Firman Allah: (maksudnya “Sesiapa yang beramal soleh, samada lelaki ataupun perempuan, dalam keadaan dia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan sesungguhnya Kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih daripada apa yang mereka telah kerjakan” (Surah al-Nahl: ayat 97).

Ramai orang yang kita lihat kaya harta, tetapi miskin jiwanya.. Kadang-kala mereka mengampu orang lain, sehingga ke peringkat yang memualkan, hanya semata kerana dunia yang diharapkan.

Apalah ertinya harta, jika kita miskin jiwa sehingga seakan menjilat orang lain. Harta dan kuasa itu amat diperlukan jika ia menjadikan kita seperti para khalifah yang soleh dan para hartawan yang bersyukur. Anda lihatlah orang-orang politik apabila mengampu ‘tuan mereka’. Semuanya kerana mengharapkan tempiasan kuasa.

Bahkan kita pernah berjumpa orang yang menyandang gelaran agama di sebuah negeri memuja ‘penghuni istana negerinya’ seakan memuja seorang nabi yang maksum. Setiap cakapannya disandarkan kepada istana negerinya. Barangkali dia mengharap tambahan ‘gelaran’ di depan namanya. Atau dia tertelan kata-kata Hang Tuah yang diriwayatkan menyebut: “Hidupku ini hanya untuk menjadi hamba Sultan Melaka semata”.

Tapi taklah sampai begitu. Hormat menghormati sesama manusia ada batasannya. Sebab itu, di sebuah majlis kadang2 benda ini pernah berlaku pihak tertentu yang menyebut: “dengan izin Allah S.W.T dan limpah perkenan tuanku jua…”.

“kita percaya pihak yang dipuji itupun tidak menyuruh saudara menyebut demikian. Pujian saudara ini menyanggahi hadis Nabi s.a.w, daripada Ibn ‘Abbas: “Bahawa seorang lelaki berkata kepada Nabi s.a.w: “Apa yang Allah dan engkau kehendaki”. Maka baginda bersabda kepadanya: “Apakah engkau menjadikanku sekutu Allah, bahkan (katakan) : apa yang hanya Allah kehendaki” (Riwayat Ahmad, dinilai sahih oleh al-Albani).”

Pujian yang seperti inilah yang akhirnya akan meruntuhkan seseorang atau sesebuah institusi. Nabi s.a.w lebih mulia daripada kita semua. Pun Allah memerintahkan baginda

mengisytiharkan: (maksudnya): Katakanlah (wahai Muhammad): “Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak dapat menolak mudarat kecuali apa yang dikehendaki Allah. Jika aku mengetahui perkara-perkara yang ghaib, tentulah aku akan mengumpulkan dengan banyaknya benda-benda yang mendatangkan faedah dan (tentulah) aku tidak ditimpa kesusahan. Aku ini tidak lain hanyalah (Pesuruh Allah) yang memberi amaran (bagi orang-orang yang ingkar) dan membawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”(Surah al-Anfal: 188).

Islam apabila datang kepada manusia, ia memerdekakan jiwa manusia ini dari menjadi hamba sesama manusia, kepada hanya bertuhankan Allah. Iinilah yang disebut oleh Rib’i bin ‘Amir di hadapan Panglima AngkatanTentera Parsi: “Allah yang membangkitkan kami agar kami mengeluarkan sesiapa yang dikehendakiNya dari pengabdian sesama hamba menuju pengabdian kepada Allah, dari kekejaman agama-agama kepada keadilan Islam, dari dunia yang sempit kepada keluasan dunia dan akhirat”. (Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah, 7/48, Beirut : Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah).

Lihatlah Bilal bin Rabah r.a., walaupun pada masa dirinya masih menjadi hamba sahaya kepada tuannya, tetapi Islam telah berjaya memerdekakan jiwanya. Dia tidak tunduk kepada kehendak tuannya yang sesat. Sekalipun tubuhnya diseksa di terik mentari, namun jiwa merdeka hanya tunduk pada ilahi. Malanglah seorang insan, jika tubuhnya merdeka, cukup makan dan minum, tiba-tiba jiwanya itu bersifat hamba kepada manusia sehingga melanggari batasan Allah S.W.T.

Justeru, jika manusia menganggap tangan yang mempunyai kuasa dan harta itulah punca kebahagiaan dan ketenangan maka mereka akan menjadi hamba sesama manusia. Namun, jika mereka yakin, hanya Allah sahaja yang mampu memberi kedamaian, maka jiwa mereka akan merdeka. Sesiapa yang menjadi hamba manusia, dia tidak akan menjadi hamba Allah yang sebenar. Sesiapa yang menjadi hamba Allah yang sebenar, dia tidak akan berjiwa hamba sesama manusia.

Sabda Nabi s.a.w: “Sesiapa yang akhirat itu tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaannya dalam jiwanya. Allah mudahkan segala urusannya dan dunia akan datang kepadanya dengan hina (iaitu dalam keadaan dirinya mulia). Sesiapa yang menjadikan dunia itu tujuan utamanya, maka Allah akan letakkan kefakirannya antara kedua matanya. Allah cerai beraikan urusannya, dan dunia pula tidak datang kepadanya melainkan dengan apa yang ditakdirkan untuknya (iaitu dalam keadaan dirinya hina)”. (Riwayat al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani).

Daripada hadis ini, maka sesiapa yang benar-benar bergantung kepada Allah, jiwanya akan merdeka dan mulia. Juga dunia itu juga akan sampai kepadanya dengan harga dan maruah dirinya tidak tercemar. Sesiapa yang bergantung kepada manusia, mungkin dunia itu akan sampai ke tangannya, tapi dia akan berada dalam kehinaan dan keluh kesah.

Kebimbangan yang tidak putus akan sentiasa menjelma antara kedua matanya, kerana pergantungannya lemah. Orang mukmin yang sebenar bergantung kepada Allah, Raja segala raja, Pemilik alam semesta. Sementara yang berjiwa hamba kepada manusia, akan bertawakkal kepada raja atau pemimpin yang menunggu hari untuk mati atau ditumbangkan oleh orang lain seperti Raja Nepal .

Islam mengajar kita berjiwa merdeka, sekalipun kita miskin harta, gelaran dan pangkat. Jiwa yang merdeka daripada perhambaan sesama manusia kepada tunduk hanya untuk Allah itulah yang membawa kepada kebahagiaan dan ketenangan yang sebenar. Kita memerlukan para pemimpin, sahabat handai, orang bawahan yang berjiwa merdeka. Kita tidak mahu menjadi berharta dan berkuasa, tetapi menjadi hamba sesama manusia. Pengemis yang miskin harta, lebih mulia daripada si kaya atau penguasa yang miskin jiwa.

Read more